Pada dasarnya, seseorang dibolehkan marah ketika dia didzalimi. Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nisa : 148)
Akan tetapi, umumnya orang yang marah tidak bisa menahan desakan emosinya. Sehingga dia membalas orang yang dimarahi, melebihi kadar kesalahan orang itu.
Baca Juga: Allah SWT Menjanjikan Surga Khuld, Inilah Keutamaan Puasa Ramadhan Hari Keempat
Ibnu at-Tin – salah satu ulama yang mensyarah Shahih Bukhari – mengatakan:
جمع صلى الله عليه وسلم في قوله “لا تغضب” خير الدنيا والآخرة، لأن الغضب يؤول إلى التقاطع، وربما آل إلى أن يؤذي المغضوبَ عليه فنيتقص ذلك من دينه
“Rasulullah SAW melalui sabdanya: ‘Jangan marah!’ telah menggabungkan semua kebaikan dunia dan akhirat. Karena marah bisa menyebabkan permusuhan dan terkadang menyebabkan dirinya menyakiti orang yang dimarahi, sehingga bisa mengurangi kadar agamanya.” Dalam fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan:
فالصائم إذا غضب وتشاجر مع بعض الناس فصومه صحيح ولا إعادة عليه سواء كان ظالما أو مظلوما
“Orang puasa ketika dia marah atau bertengkar dengan orang lain, puasanya tetap sah dan tidak wajib dia ulangi. Baik dia sebagai orang mendzalimi maupun yang didzalimi”. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no.109481)