Puasa dan Pantang, Tak Sebatas Ritual Keagamaan

20 Februari 2022, 14:46 WIB
Dokter Yoshinori Ohsumi /

KARANGANYARNEWS-Sebentar lagi umat Katolik akan memasuki masa prapaskah, sebuah masa untuk mempersiapkan diri merayakan Paskah, dimana Isa Al Masih atau Yesus Kristus bangkit.

Masa prapaskah selama 40 hari atau lima minggu, yang ditandai atau diawali Rabu abu, yang tahun ini jatuh pada 2 Maret, akan berlangsung hingga memasuki pekan suci Paskah di Bulan April.

Selama 40 masa prapaskah, umat diminta mempersiapkan diri untuk menyambut Paskah dengan doa dan pertobatan.

Seperti ibadat prapaskah di wilayah, lingkungan atau kelompok kategorial dan jalan salib di gereja, selain tetap mengikuti ibadat ekaristi tiap minggu atau harian.

Itu semua perlu dilaksanakan umat Katolik agar layak disebut orang beriman dan pantas menyambut kebangkitan Yesus Kristus dalam perayaan Paskah.

Selain itu, umat juga diminta matiraga, hidup sederhana dan melaksanakan amal kasih. Matiraga dan hidup sederhana itu diaplikasikan dalam puasa dan pantang.

Laku puasa dan pantang itu dalam rangka meneladani laku tirakat Yesus Kristus saat berkhalwat di padang gurun selama 40 hari. Tindakan ini disebut pengorbanan Prapaskah.

Selama masa prapaskah, sebenarnya umat hanya diwajibkan dua kali puasa, yakni pada Jumat pertama dan terakhir. Di luar itu, selama 40 hari diwajibkan untuk pantang.

Seperti pantang atau tidak makan garam, gula, daging, nasi, pantang jajan, pantang hidup mewah, dan lainnya. Sederhana sekali, bukan!

Di luar hal-hal yang sifatnya dogmatis dan religius, sebenarnya puasa juga memberi manfaat besar bagi sistem kekebalan tubuh kita atau imun.

Peneliti sekaligus dokter dari Jepang Yoshinori Ohsumi menjelaskan manfaat puasa dari sisi kesehatan, melalui konsep autophagy.

Dikatakan, konsep autophagy adalah ketika tubuh seseorang lapar, maka sel-sel tubuhnya pun ikut lapar dan akan memakan sel-sel dirinya yang sudah tidak beguna lagi atau sel-sel yang telah rusak (sel mati) agar tidak menjadi sampah dalam tubuh yang bisa membahayakan tubuh.

"Dengan kata lain tubuh orang yang berpuasa akan membersihkan dirinya sendiri," kata Yoshinori, dalam press release, dikutip dari nobelprize.org/prizes/medicine.

Dia menemukan, ketika seseorang lapar (puasa) dalam jangka waktu tidak kurang dari 8 jam dan tidak lebih dari 16 jam, maka tubuh akan membentuk protein khusus yang disebut "autophagisom" di seluruh bagian tubuh.

Dan atophagosom itu bisa dianalogikan sebagai suatu sapu raksasa yang mengumpulkan sel-sel yang tidak berguna (sel-sel mati). Dan ternyata pula, sel-sel lain yang membahayakan tubuh, seperti sel kanker serta sel berbentuk kuman (virus atau bakteri) penyebab penyakit.

"Lalu protein autophagisom itu menganalisanya dan memakan sel-sel berbahaya tersebut," jelas Yoshinori Ohsum memenangkan penghargaan Nobel Kedokteran dari riset autophagy yang dia lakukan di tahun 2016.

Editor: Langgeng Widodo

Tags

Terkini

Terpopuler