Network
KARANGANYARNEWS.COM-Dalam 10 tahun terakhir Solo diserbu wedangan modern. Disebut modern karena mereka lebih menyasar anak-anak milineal dengan konsep yang sezaman dengan anak-anak muda.
Konsep milineal yang ditandai dengan banyaknya lampu, live music, setting out dour, suasana serta desain tempat yang instagramable, dan leluasanya jaringan wifi. Bukan lagi wedangan konvensional yang identik dengan warung tenda, tikar, dan lesehan.
Toh, keriuhan warung-warung modern itu tak mampu menggeser keberadaan wedangan tradisional atau warung hik. Di antara ratusan wedangan milineal yang bertebaran di warung hik legendaris Bung Klithik di kawasan Sambeng, misalnya, tetap saja ramai. Bediri sejak tahun 1970-an, warung ini tetap memilik pelanggan setia.
“Teh-nya luar biasa. Manis-manis sepet, tapi tidak membuat perut kembung. Saya sudah lebih dari 10 tahun jadi langganan di sini,” kata Wardoyo, seorang pengunjung.
“Sekarang banyak model wedangan di Solo. Dulu warung hik pakai gerobak dan mangkal ada di pinggir jalan. Tapi sekarang sudah masuk rumah,” kata Samino, pemilik warung wedangan Bung Klithik.
Samino mengakui banyaknya wedangan modern menjadi tantangan bagi pengelola warung hik.Dia pun memiliki strategi khusus untuk menghadapi gerusan pasar itu.
“Sebelum pandemi Bung Klithik buka 24 nonstop. Hik menjadi pionir wedangan yang tidak pernah tutup. Tapi pandemi membuat kami harus menyesuaikan jadwal pembatasan dari pemerintah,” ujarnya.
Menurut dia, warung hik itu beda dengan rumah makan. Roh wedangan itu teh, ngobrol, dan suasana yang santai. Tidak semua warung hik bisa memberikan roh itu,” kata Samino.
Siyung, pengelola Wedangan Gareng di kawasan Kerten, juga mengatakan hal yang sama.. Menempati emperan rumah, waruh hik ini mulai ramai sekitar pukul 21.00 hingga tengah malam.
