Memaknai Filosofi ‘Gusti Allah Mboten Sare’

3 April 2022, 07:42 WIB
Ustadz Drs. H. Moch Isnaeni, M.Pd. /dok pribadi/

Ngaji Bareng |.| Ustadz Drs. H. Moch Isnaeni, M.Pd.

GUSTI Allah mboten sare. Di Jawa, kalimat ini lazim diucapkan. Entah mengapa, meski terkesan sederhana tapi sangat mengena juga.

Gusti Allah mbotrn sare, Gusti Allah ora nate sare, Gusti Allah ora turu, atau intinya Allah tak pernah tidur. Itu adalah salah satu filosofi hidup, terutama filosofi orang tua kita dulu.

Dari sinilah ada simbol optimisme, keyakinan sekaligus kepasrahan. Misalnya saat orang yang sudah berusaha keras maksimal, namun belum mencapai target yang diharapkannya, maka orang-orang sekitarnya akan menyemangati;

Baca Juga: Jangan Remehkan Doa, Hanya Dengan Doa Keajiban Allah Tiba

''Tetaplah berusaha, gusti Allah mboten  sare pasti melihat segala usahamu dan tak akan pernah ada usaha yang sia-sia,'' begitu spirit dari orang-orang di sekitarnya.

Pernah seorang tukang becak asal Semarang, sudah 20 tahun kerja di Gresik , tiap malam tidur di becaknya hanya dengan tutup sarung, berkata pada seorang temannya. Tentu saja dalam Bahasa Jawa, kalau di Indonesiakan begini;

"Saya ga mengeluh (nelongso) kok mas jauh dari keuarga, sengsara begini, Gusti Allah ndak pernah tidur. Buktinya biar begini anak-anak bisa mentas sekolah, satu jadi perawat, satu lagi masih STM sebentar lagi kalau dia lulus saya bisa kerja lebih santai di kampung,'' kata pria setengah  baya ini.

Baca Juga: Pilih, Menurutmu yang Lebih Afdol; Sholat Taraweh 8 atau 20 Rakaat?

Ya dari situ tersirat bapak itu tetap semangat, tak mengeluh, baginya Allah sudah membalas kerja kerasnya dengan anaknya sukses jadi perawat.

Kalimat Gusti Allah tak pernah tidur ini juga simbol menerima, nrimo tanpa dendam jika ada orang menyakiti kita.

Biasanya, ''Wes to, jangan dipikir, jangan sedih, jangan dendam, Gusti Allah ora turu, pasti melihat semuanya, siapa yang baik dan jahat, pasti akan dapat wangsulan alias balasan sendiri-sendiri''.

Baca Juga: Ngupil Siang Hari di Bulan Ramadhan, Batalkah Puasanya?

Ya itulah filosofi sederhana ala orang sepuh jaman dulu. Biasanya diikuti pula filosofi semacam ''nrimo ing pandum'', atau bersukur atas apapun yang diterima. Meski dua kalimat itu sederhana, tapi efeknya luar biasa. ***

Drs. H. Moch Isnaeni, M,Pd.: Pengurus Pimpinan Daerah Muhammadiyah dan FKUB Kabupaten Klaten

Editor: Kustawa Esye

Tags

Terkini

Terpopuler