Jejak Sejarah Angkringan (5), Arena Sosialita Tak Bedakan Strata Sosial

- 28 September 2021, 01:42 WIB
“Kebebasan yang tercipta dalam angkringan, telah lama diimplementasikan jauh sebelum negeri Indonesia menggaung-gaungkan paham demokrasi,” kata Ki Panji Koeswening, budayawan dan penulis buku sejarah peradaban
“Kebebasan yang tercipta dalam angkringan, telah lama diimplementasikan jauh sebelum negeri Indonesia menggaung-gaungkan paham demokrasi,” kata Ki Panji Koeswening, budayawan dan penulis buku sejarah peradaban /dok source playindonesia /

KARANGANYARNEWS -  Angkringan di Solo dan Jogjakarta, kini lebih popular juga disebut HIK adalah arena sosialita tanpa sekat dan tak bedakan strata kehidupan.

Suasananya terbangun santai bebas, tak ada batasan usia, jenis kelamin, suku, agama, derajat, pangkat, strata ekonomi maupun status sosial. Bahkan, semua profesi juga diberikan keleluasaan dan kemerdekaan di angkringan.

Bukan saja sebatas hidangan makanan ataupun minuman, lebih dari itu. ‘Hidangan istimewa’ lain yang juga tersaji,  adalah ruang terbuka untuk melepaskan lelah, menumpahkan  ‘uneg-uneg’ sambil ‘guyon maton’ kepada siapa saja.

Baca Juga: Jejak Sejarah Angkringan (1), Berawal dari Keterpurakan Nasib Karso Dikromo

Awalnya,  angkringan adalah tempat rahat bagi rakyat kecil kelas rendahan. Tak dapat dipungkiri, karena yang banyak berkumpul di gerai kaki lima makan dan minuman ini para sopir, tukang becak, kaum buruh, tukang parkir, dan lainnya.

Akan tetapi sesuai perguliran jejak sejarah panjangnya,  angkringan menjadi tempat berkumpulnya semua komunitas. Termasuk kaum intelek, para cendikiawan, budayawan, dan seniman yang rela ngobrol ‘blak kotang terus terang’ berbagi kepada siapapun.

“Hal ini tak lepas dari keberadaan angkringan yang makin marak di Solo dan Jogjakarta. Sebagai kota budaya, kota pelajar atau mahasiswa dan tumpuhan urban para pejuang nasib kehidupan keluarganya,” kata Ki Panji Koeswening.

Baca Juga: Jejak Sejarah Angkringan (2), Spirit Mbah Karso Dikromo Merambah ke Jogjakarta

Jenis makanan dan minuman yang dijajakan, menurut budayawan yang tiga tahun terakir menerbitkan beberapa buku sejarah peradaban tadi, juga memberikan pemahaman semua yang tersaji di angkringan makanan ‘wong cilik’  yang apa adanya. 

Halaman:

Editor: Kustawa Esye


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x