KARANGANYARNEWS - Sejarah angkringan yang belakangan lebih popular disebut HIK, tak lepas dari perjuangan Mbah Karso Dikromo menaklukkan keterpurukan nasib dan kemiskinan di kampung halamannya.
Karena keberaniannya berspekulasi meninggalkan tanah kelahirannya yang tandus dan gersang inilah, pria yang semasa remajanya dipanggil Djukut berhasil mendongkrak taraf perekonomian dan kehidupan keluarganya.
Keberhasilan Djukut berjualan makanan dan minuman, dijajakan dipikul berjalan kaki keliling dari satu kampung ke kampung lain di Kota Solo, menginspirasi sekaligus menspirit sanak saudara di Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Baca Juga: Jejak Sejarah Angkringan (1), Berawal dari Keterpurakan Nasib Karso Dikromo
Tahun 1940-an warga desa kami mulai tertarik mengikuti jejak Mbah Karso Dikromo merantau ke Kota Solo,” terang Suwarna, generasi ketiga pedagang angkringan dari Desa Ngerangan, mengaku sudah 15 tahun terakir mengikuti jejak Mbah Karso Dikromo.
Bukan saja warga Desa Ngerangan, beberapa warga desa bahkan lain kecamatan, pun terinspirasi dan terspirit mengikuti jejak Mbah Karso Dikromo, tokoh legendaris yang belakangan disebut-sebut pelopor inovator pedagang angkringan.
Kota yang dilirik, juga bukan hanya Solo tapi juga merambah ke kota lain. Salah satu diantaranya, Mbah Pairo. Pria dari Kecamatan Cawas, bersebelahan Kecamatan Bayat yang masih wilayah administratif Kabupaten Klaten. , di kemudian inilah yang kemudian hari disebut-sebut pelopor angkringan di Jogjakarta.
Baca Juga: Desa Ngerangan, Cikal Bakal Warung HIK Nan Legendaris dan Ngangeni
Pria yang di era 1950-an merintis jualan makanan dan minuman, dipikul dan 'mider' jalan kaki dsri ksmpung ke ksmpung di Kota Jogjaakarta ini, sampai sekarang belum diketemukan berasal dari desa mana. Beberapa sumber yang dirunut, hanya menyebutkan Mbah Pairo berasal dari Kecamatan Cawas.