Tepatnya 5 tahun setelah Indonesia Merdeka, Mbah Pairo merantau ke Jogjakarta. Sebagaimana warga desa lainnya, Dia juga bermaksud berjuang menaklukan kemiskinan yang diderita keluarganya, akibat ketiadaan lahan subur untuk bercocoktanam di desanya.
Di kota tempatnya mengadu nasib, Jogjakarta pria yang karena kemiskinannya tak mengenyam bangku sekolah ini, memilih menekuni profesi penjual angkringan keliling, sebagaiman jauh sebelumnya ditekuni Mbah Karso Dikromo di Kota Solo.
Baca Juga: Kuliah Ngonthel Bayat-Jogya, Anak Desa Raih Gelar Guru Besar Teknik Mesin
Dewa keberuntungan, memang tengah berpihak pada Mbah Pairo. Keberhasilannya merintis angkringan di Kota Gudeg, melejitkan nama dan usaha yang dirintisnya dari nol kecil, hingga di kemudian hari dia disebut-sebut pionirnya angkringan di Jogjakarta.
Usaha angkringan pria asal Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten ini bahkan sampai sekarang tetap melegenda di Kota Budaya sekaligus Kota pelajar. Kendati sejak tahun 1969 telah diwariskan kepada Lik Man, generasi berikutnya yang tak lain adalah putranya.
Lik Man yang kini menggelar warung angkringan di utara Stasiun Tugu, mengaku beberapa kali berpindah tempat jualan. Seiring bergulirnya waktu, bisnis angkringan ini pun kian menjamur di setiap sudut Kota Jogjakarta.
Baca Juga: Jejak Selomiyo Masih Misterius, 60 Personel SAR Dikerahkan Susuri Merapi
Namun demikian, angkringan Lik Man warisan Mbah Pairo tadi tetap melegenda dan jadi pencarian para pandemen angkringan. Baik warga dalam kota, demikian juga pendatang dari luar daerah yang bertandang ke Kota Jojakarta. (kustawa esye-bersambung) ***