Puasa Ramadhan Penyempurna Tradisi Agama Samawi Sebelumnya, Inilah Syariat dan Sejarahnya

24 Maret 2023, 01:05 WIB
Inilah syariat puasa dalam Islam yang menyempurnakan tradisi puasa seluruh agama samawi yang ada sebelumnya /xvector/Freepik

KARANGANYARNEWS - Tak banyak yang tahu, jauh sebelum puasa Ramadhan diwajibkan teruntuk kaum Muslimin tradisi puasa telah dilakukan para nabi sebelum Rasulullah SAW.

Sebagaimana dilansir KaranganyarNews.com dari tulisan Dr Muhammad Hariyadi, MA pada salah sebuah media online Islam, berikut penjelasan selengkapnya terkait syariat puasa dalam Islam sebagai penyempurna tradisi puasa seluruh agama samawi yang ada sebelumnya.

Sebelum mewajibkan puasa Ramadhan bagi kaum Muslimin tahun ke-2 hijriyah, Allah SWT telah mensyariatkan puasa kepada para nabi terdahulu.

Baca Juga: Doa Sapu Jagad Gus Baha: Singkat, Solusi Solutif Segala Beban Derita Kehidupan

Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, syariat puasa pertama diterima oleh Nabi Nuh AS setelah beliau dan kaumnya diselamatkan oleh Allah SWT dari banjir bandang. Nabi Daud AS melanjutkan tradisi puasa dengan cara sehari puasa dan sehari berbuka.

Dalam pernyataannya Dawud AS berkata, “Adapun hari yang aku berpuasa di dalamnya adalah untuk mengingat kaum fakir, sedangkan hari yang aku berbuka untuk mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT.”

Pernyataan Dawud AS tersebut ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sebaik-baiknya puasa adalah puasa Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka.” (HR. Muslim).

Baca Juga: Hukum Sikat Gigi saat Puasa, Apakah Bisa Bikin Batal? Ini Solusinya

Nabi Musa AS kemudian mewarisi tradisi berpuasa. Menurut para ahli tafsir, Musa dan kaum Yahudi telah melaksanakan puasa selama 40 hari (QS. Al Baqarah: 40).

Salah satunya jatuh pada tanggal 10 bulan Muharram, dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas kemenangan yang diberikan oleh Allah SWT dari kejaran Firaun.

Puasa 10 Muharram ini dikerjakan oleh kaum Yahudi Madinah dan Rasul SAW menegaskan, umat Islam lebih berhak berpuasa 10 Muharram dari pada kaum Yahudi, karena hubungan keagamaan memiliki kaitan yang lebih erat dibandingkan dengan hubungan kesukuan.

Baca Juga: Ngupil Siang Hari di Bulan Ramadhan, Batalkah Puasanya?

Untuk membedakannya, Rasulullah SAW kemudian mensyariatkan puasa sunah tanggal 9 dan 10 Muharram, selain untuk membedakan puasa kaum Yahudi, juga ungkapan simbolik kemenangan kebenaran atas kebatilan.

Ibunda Nabi Isa AS juga melakukan puasa yang berbeda dengan para pendahulunya, yaitu dengan tidak berbicara kepada siapa pun. Allah SWT berfirman:

“Maka jika kamu melihat seorang manusia, katakanlah: ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Mahapemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini’.” (QS. Maryam: 26).

Baca Juga: 30 Twibbon Marhaban Ya Ramadhan 2023, Paling Aplikatif Media Sosial dan Gratis Tis

Keempat riwayat di atas merupakan sejarah puasa agama samawi yang menjadi rujukan  disyariatkannya puasa dalam Islam. Adapun puasa agama ardhi (agama buatan manusia), kendati sama sekali bukan rujukan namun mereka juga telah melakukan puasa dengan model yang berbeda-beda.

Sebelum puasa Ramadhan diwajibkan, Rasulullah SAW telah memerintahkan kaum Muslimin puasa Hari Asyura tanggal 9 dan 10 Muharram. Namun begitu perintah puasa Ramadhan tiba, puasa Asyura yang sejatinya ditambah satu hari oleh Rasulullah SAW menjadi puasa sunah.

Tingginya tingkat kesulitan dalam melaksanakan puasa menjadikan syariat ini turun belakangan setelah perintah haji, shalat dan zakat. Wajar jika kemudian ayat-ayat tentang puasa Ramadhan turun secara berangsung-angsur:

Baca Juga: Ceramah Tausiah: Menjemput Isyarat Keajaiban Allah dengan Doa

Pertama, perintah wajib puasa Ramadhan dengan pilihan. (QS. Al-Baqarah: 183-184). Kaum Muslimin boleh memilih berpuasa atau tidak berpuasa, namun mereka yang berpuasa lebih utama dan yang tidak berpuasa diharuskan membayar fidyah.

Kedua, kewajiban berpuasa secara menyeluruh kepada kaum Muslimin, dengan pengecualian bagi orang-orang yang sakit dan bepergian serta manula yang tidak kuat lagi berpuasa (QS. Al-Baqarah: 185).

Awal mulanya kaum Muslimin berpuasa sekitar 22 jam, karena setelah berbuka mereka langsung berpuasa kembali setelah shalat Isya. Namun, setelah sahabat Umar bin Khathab mengungkapkan kejadian mempergauli istrinya pada satu malam Ramadhan kepada Rasulullah SAW.

Baca Juga: 5 Karomah Mbah Moen yang Belum Terekspose Media, Salah Satunya Kisah Bertemu Nabi Kidir

Turunlah QS Al Baqarah: 187 yang menegaskan halalnya hubungan suami-istri di malam Ramadhan dan ketegasan batas waktu puasa yang dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari. ***

Editor: Kustawa Esye

Tags

Terkini

Terpopuler