KARANGANYARNEWS – Hari menjelang siang, memasuki Kampung Kutuwates, Sinduadi, Mlati di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, terlihat masyarakat beriringan jalan memasuki sebuah makam besar.
Mereka datang bersama anggota keluarga, membawa kebutuhan tradisi nyadran seperti sapu, alat bersih-bersih dan makanan. Ratusan warga brkumpul, duduk beralas tikar sambil mendengarkan sambutan, dan acara inti doa bersama.
Acara cukup khidmat, karena semua warga Kutuwates yang memiliki leluhur tanpa memandang agama, budaya berkumpul dan berdoa bersama. Menurut Yoko, Ketua Rw 10 agenda ruwahan atau nyadran ini dilakukan satu Rw, melibatkan 3 Rt, 07, 08, 09.
Baca Juga: 30 Twibbon Marhaban Ya Ramadhan 2023, Paling Aplikatif Media Sosial dan Gratis Tis
Satu hari sebelum pelaksanaan, makam dibersihkan dengan gotong royong dan menyiapkan atap di halaman makan sebagai tempat nyadran. Bersih makam, simbol dari pembersihan diri menjelang Bulan Suci.
Bukan hanya hubungan manusia dengan Sang Pencipta, Nyadran dilakukan sebagai bentuk bakti kepada para pendahulu dan leluhur. Kerukunan serta hangatnya persaudaraan, sangat terasa setiap kali tradisi Nyadran berlangsung.
Sebagai salah satu penghormatan kepada leluhur, nyadran merupakan tradisi yang sangat erat dengan masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta. Nyadran berasal dari bahasa ‘Sanskerta” yang berarti keyakinan.
Baca Juga: Umat Islam Wajib Tahu: Inilah Awal Puasa Ramadhan 2023 Menurut Muhammadiyah, NU dan Pemerintah
Tradisi nyadran, budaya mendoakan leluhur yang sudah meninggal masing-masing daerah memiliki ciri khas dalam budaya nyadran ini. Nyadran dikenal juga sebagai ruwahan, karena peristiwa ini dilakukan pada bulan Ruwah. Nyadran sebagai tradisi budaya Jawa, merupakan akulturasi antara budaya Jawa dan Islam.