Kondisi itu membuat Sang ayah menyadari dan mensyukuri, alangkah indahnya mempunyai sesuatu yang berbeda ketimbang hanya mempunyai tiga buah garpu. Perbedaan itu, terasa membuat sesuatu yang bermakna dan menjadi lebih lengkap.
Kisah tadi pun mengingatkan kita pada sebuah pepatah leluhur Minangkabau, Sumatera Barat;
Baca Juga: Tausiah Hari Ini; Mentauladani Tokoh Usia Pendek Tapi Namanya Terabadikan
“Nan buto pahambuih lasuang, nan pakak palapeh badie, nan lumpuah paunyi rumah, nan kuek pambaok baban, nan binguang kadisuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang.”
(Si tuna netra sebagai peniup lesung, si tuna rungu bertugas menembakkan meriam dan si tuna daksa tukang jaga rumah. Yang kuat sebagai pembawa beban, si bingung untuk disuruh-suruh, dan si pintar lawan berunding).
Orang tuna netra memiliki kelemahan pada indra penglihatan, maka ia harus ditempatkan sebagai peniup lesung atau tungku api (nan buto pahambuih lasuang). Kinerja dan performa tuna netra pasti optimal, sebab ia tidak akan pernah merasa perih di matanya bila dekat tungku api.
Baca Juga: Tausiah Hari Ini; Perbuatan Kecilpun Dapat Berbuah Surga, Ini Risalahnya
Sementara itu, orang yang memiliki kelemahan pada indra pendengaran dapat diberdayakan dengan tugas menembakkan meriam (nan pakak palapeh badie).
Si tuna rungu akan bekerja optimal karena memiliki kekebalan pada telinganya, tidak akan merasa kesakitan oleh dentuman keras dari ledakan meriam.
Sedangkan orang tuna daksa, dapat diberdayakan untuk menjaga rumah (nan lumpuah paunyi rumah) lantaran pekerjaan menjaga rumah memang tidak perlu ke mana-mana.