Pernyataan ini, juga dibenarkan Mbah Wiryo Jeman, 95 tahun, saksi hidup sekaligus pelaku sejarah awal mulanya warga Ngerangan yang urban merintis usaha bakul angkringan.
Dijelaskan juga, dulu angkringan memang dikenal sebagai warungnya rakyat kecil. Namun sekarang, angkingan terus berkembang bahkan bahkan berhasil menaikkan kelas, menjadi tempat berburu kuliner bagi masyarakat strata perekonomian menengah ke atas juga.
Baca Juga: Penanganan Covid-19 di Klaten Yes Oke, 427 Isolasi Terpusat Sudah Tak Dihuni
Suwarno yang mengaku telah 13 tahun lebih menekuni profesi warung angkringan atau HIK, kepada awak media memaparkan, wirausaha yang dijalani sebagian besar warga Ngerangan tersebut semakin berkembang.
Warga yang berjualan makanan dan minuman dalam warung angkringan, menurutnya rata-rata setiap harinya meraih kentungan hingga ratusan ribu rupiah. Selain itu, juga telah berhasil mengembangkan sayap usaha pendukungnya.
Warga yang memproduksi gerobak angkringan juga kebanjiran order. Bangku pikul akringan yang diproduksi juga warga Ngerangan, mereka menjualnya berkisar Rp 2,5 juta sampai Rp 3 juta per unit. Sementara gerobak dorong lengkap dengan peralatannya, harga minimalnya Rp 3,5 juta.
Baca Juga: Sidak Proyek Jalur Evakuasi Erupsi Merapi, DPRD Temukan Ketidaksesuai Lelang
“Pasarnya sudah go Nasional. Diantaranya sering mendapat pesanan dari Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan lainnya. Salah seorang pengusaha gerobak yang aktif memproduksi, mengirim 40-50 unit setiap bulan,” terang Suwarno.
Mengingat potensinya yang menjanjikan, sekaligus dimaksud untuk melestarikan tradisi leluhur itulah, lanjut dia Pemerintah Desa Ngerangan dan para tokoh masyarakat setempat, berupaya mengangkat desanya sebagai Cikal Bakal Desa Angkringan.
Upaya ini, dimaksud juga dapat menambah peluang pengembangan pariwisata di desanya dan menambah peluang peningkatan perekonomian warga Desa Ngerangan.