Tausiah Hari Ini; Catat Jawabnya, Kenapa Mengkafirkan Sesama Muslim Dilarang?

29 Mei 2022, 04:35 WIB
Drs. H. Moch Isnaeni, M.Pd. /dok pribadi/

Tausiah |.| Ustadz Moch Isnaeni

DALAM risalah syariat Islam, diuraikan secara detail dan tegas disertai dalil-dalil kuatnya, terkait larangan mengkafirkan sesama muslim.

Sebagaimana pandangan yang dikemukakan Imam Abu Hamid al-Ghazali, dalam kitab al-Iqtishad fil I’tiqad; “Agar menjaga diri dari mengkafirkan orang lain sepanjang menemukan jalan untuk itu”.

“Sesungguhnya menghalalkan darah dan harta Muslim yang shalat menghadap qiblat, yang secara jelas mengucapkan dua kalimat syahadat, itu merupakan kekeliruan. Padahal kesalahan dalam membiarkan hidup seribu orang kafir itu lebih ringan dari pada kesalahan dalam membunuh satu nyawa Muslim.”

Baca Juga: Tausiah Hari Ini; Risalah Larangan Mengkafirkan Sesama Muslim

Dalam konteks ini, Rasulullah SAW bersabda; “Tiga perkara yang merupakan dasar keimanan: menahan diri dari orang yang mengucapkan La Ilaha illallah, tidak mengkafirkannya karena suatu dosa, dan tidak mengeluarkannya dari keislaman karena sebuah amalan…” (HR Abu Dawud, Nomor 2170).

Dalam kitab Shahih al-Bukhari, dari Tsabit bin adh-Dhahhak, Rasulullah SW bersabda; “… dan melaknat seorang Mukmin seperti membunuhnya. Siapa saja yang menuduh seorang Mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya. (HR al-Bukhari No. 6105 dan Muslim No. 110 [146]).

Dalam redaksi lain, Rasulullah bersabda; “Barang siapa yang berkata kepada saudaranya “hai kafir”, maka ucapan itu akan mengenai salah seorang dari keduanya.” (HR Shahih al-Bukhari No. 6104 dan Shahih Muslim No. 60).

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Memaknai Falsafah Filosofi Secangkir Kopi

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi SAW bersabda; “Bila seseorang mengkafirkan saudaranya (yang Muslim), maka pasti seseorang dari keduanya mendapatkan kekafiran itu”. (HR Imam al-Bukhari No. 6104, Imam Muslim No. 60 (110) dan Imam at-Tirmidzi No. 2637).

Dalam riwayat lain: “Jika seperti apa yang dikatakan. Namun jika tidak, kekafiran itu kembali kepada dirinya sendiri”. (HR Imam Muslim No. 60).

Dari Abu Dzarr ra, Nabi SAW bersabda: “Barang siapa memanggil seseorang dengan kafir atau mengatakan kepadanya “hai musuh Allah”, padahal tidak demikian halnya, melainkan panggilan atau perkataannya itu akan kembali kepada dirinya.” [HR. Imam al-Bukhari No. 3508 dan Imam Muslim No. 61(112)].

Baca Juga: Ngaji Hikam: Apakah Amal Ibadah akan Membawa Kita Masuk Surga?

Menjadi masalah besar, di balik tuduhan mengkafirkan orang lain itu sesungguhnya terdapat sikap yang dilarang oleh Islam, yakni takabbur, ‘ujub, dan merendahkan orang lain.

Selain itu, dia merasa bahwa dirinya paling benar, yang lain salah; paling baik, yang lain buruk; paling Islami, yang lain tidak Islami; bahkan bisa jadi merasa paling suci dan paling benar sendiri, sehingga surga hanya menjadi haknya.

Sikap takfir semacam ini, pernah terjadi pada masa lalu dalam sejarah keislaman. Terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, yang kemudian memicu terjadinya perang shiffin antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah.

Baca Juga: Sentilan Gus Baha kepada Orang yang Minta Didoakan Hajinya Mabrur

Selain itu, juga memicu perang jamal antara Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatina ‘Aisyah ra, adalah akibat dari sikap mengkafirkan orang lain (takfir). Semuanya adalah sahabat dan keluarga Nabi SAW yang kita hormati.

Namun demikian, akibat perbedaan politik yang dibungkus dengan argumentasi agama sebagian pihak mengkafirkan pihak lain. ***

Drs. H. Moch Isnaeni, M.Pd. |.| Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI)  Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM), Ketua Komisi Dialog FKUB, Pembina DDII, Sekretaris Dai Kamtibmas Polres dan praktisi dakwah media cetak maupun online di Kabupaten Klaten.

Editor: Kustawa Esye

Tags

Terkini

Terpopuler