Kedua warga Ngerangan ini, awalnya bekerja sebagai penggembala kerbau dan membantu membajak sawah di daerah pinggiran Kota Solo. Di era sebelum Kemerdekaan RI, peliharaan kerbau lebih banyak dimanfaatkan untuk membajak sawah.
Kisah selanjutnya, keduanya berkenalan dengan seorang penjual makanan keliling dipikul dan berjalan kaki. Warga Kota Solo menyebutnya penjual ‘terikan’, karena yang dijajakan nasi lauknya (tempe, tahu dan daging) dimasak bumbu terik.
Baca Juga: 1.125 Jiwa Terguyur Abu Vulkani Merapi, 4,98 Ton Gabah Digelontorkan
Pertemuan Mbah Karso Dikromo dan Mbah Wono dengan pedagang ‘terikan’, inilah babak awal sejarah angkringan. Kedua laki-laki dari Desa Ngerangan yang mengadu nasib di Kota Solo ini, tertarik mengikuti ajakan jualan ‘terikan’.
Bermodalkan pikulan, dua tumbu (tempat dagangan terbuat dari anyaman bambu), dan sedikit uang yang dipunya, Mbah Karso Dikromo dan Mbah Wono menggeluti profesi baru, penjual ‘terikan’.
Setelah belasan tahun menekuni jualan ‘terikan’, sekitar tahun 1943 Mbah Karso Dikromo mendapatkan ide baru, melengkapi dagangan yang dijajakan keliling dari kampung ke kampung.
Baca Juga: Mangut Kepala Manyung, Inilah Sensasi Baru Kuliner Lereng Merapi
“Mbah Karso Dikromo juga menjual minuman. Dia maksud, agar pembeli makanan yang dijualnya sekalian dapat melegakan dahaganya,” jelas Suwarna, inisioator Desa Ngerangan sebagai desa cikal bakal, atau asal muasal angkringan.
Dari idenya inilah, Mbah Karso Dikromo harus memodifikasi wadah dagangannya. Tumbu depan yang dipikulnya diperuntukkan tempat makanan, dan tumbu belakang untuk manaruh minuman yang dijualnya.
Tak sebatas itu inovasi dia. Berikutnya, Mbah Karso Dikromo juga lebih mengkompliti lagi dagangannya. Selain menu utamanya ‘terikan’, ditambah juga jadah bakar, singkong goreng, gethuk, kacang godhog, pisang godhog dan sejumlah jajanana atau gorengan.