Network
KARANGANYARNEWS – Dari 'terikan' menjadi heeik. heeik thing-thing, dan sekarang lebih popular disebut HIK. Inilah rentang panjang, sejarah angkringan yang melegenda ini.
Awalnya warga Kota Solo menyebutnya 'terikan', karena pedagangnya memang hanya menjual nasi beserta lauk satu macam. Tempe, tahu, dan atau daging sapi dimasak 'terik'.
Dari kata 'terik' (kuliner khas Jawa bercitarasa manis, gurih beraroma ketumbar) inilah, seiring perjalanan waktu masyarakat di Kota Solo menyebutnya 'terikan'. Dagangannya ditaruh dalam dua tumbu (terbuat dari anyaman bambu), dipikul dijajakan 'mider' atau keliling kampung.
Baca Juga: Jejak Sejarah Angkringan (1), Berawal dari Keterpurakan Nasib Karso Dikromo
Sebutan 'terikan berubah menjadi heeik, sejak tahun 1940-an. Tepatnya setelah Mbah Karso Dikromo berinovasi, menambah minuman dan aneka macam sajian dagangannya, dan menspirit sejumlah warga Desa Ngerangan, kampung halamannya mengikuti urban ke Kota Solo berjualan makanan dan minuman.
Tak hanya di Solo, tahun 1950-an saat Mbah Pairo mengembangkan jualan makanan dan minuman keliling di Kota Jogjakarta, pun mempopulerkan sebutan profesinya bakul atau jualan heeik.
Ditemukan banyak versi, kenapa masyarakat Solo maupun Jogjakarta menyebutnya Heeik. Salah satu versinya, karena pedagangnya saat menjajakan menawarkan dengan berteriak, “Hiyeek…! Hiyeeik…!”
Baca Juga: Jejak Sejarah Angkringan (2), Spirit Mbah Karso Dikromo Merambah ke Jogjakarta
Menurut Suwarna, inisiator Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, sebagai Desa Cikal Bakal (asal muasal) Angkringan, karena penjualnya yang sarat memikul dagangan, kakinya sering tersandung dan spontan berteriak ‘heiik’.
