Spirit Spiritual Bulan Sura: Filosofi Kehidupan, Akulturasi Budaya dan Moderasi Beragama

- 17 Juli 2023, 08:40 WIB
Kustawa Esye, Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh (Spirit Religius, Cultural dan Education)
Kustawa Esye, Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh (Spirit Religius, Cultural dan Education) /Dok Kiai Damar Sesuluh/

Ngaji Jiwa Jawi |.| Kustawa Esye

TANGGAL 1 Sura, tahun baru Jawa yang bersamaan tanggal 1 Muharram atau tahun baru Islam menurut penanggalan tahun Hijriyah, menurut adat tradisi masyarakat Jawa dianggap sebagai awal bulan keramat dan sakral. Menurut tuntunan spiritual reliqius jiwa jawining wong Jawi, Sura juga dimaknai sebagai bulan laku spiritual keprihatinan.

 

Banyak juga yang menganggap bulan Sura saatnya introspeksi atau mawas diri, waktunya kontemplasi, membersihkan katarak jiwa dan mensucikan noktah hitam dalam hati nuraninya.

Bertumpu kesadaran spiritual reliqius dan kepekaan mata batinnya itulah, segala lelaku ngesuh jiwa selama bulan Sura dimaksud untuk membersihkan segala aura spiritual negatif dalam diri maupun batiniah sepanjang kehidupannya.

 Baca Juga: Tradisi Malam 1 Suro, Sejarah dan Ritual yang Menyertainya

Selebihnya, juga merupakan tangga teruntuk menggapai cita-cita luhur seluruh umat manusia. Dalam perannya sebagai khalifah di muka bumi, sekaligus sebagai hamba Allah Sang Maha Widi.

Sura yang dalam bahasa Jawa Kawi berarti ‘dewa’ dan dalam kamus Bahasa Jawa gagrag anyar berarti ‘wani’ (berani), diprecaya juga sebagai momentum paling tepat untuk ngeningke cipata, rasa dan karsa.

Noktah Hitam Batiniah

 

Selain itu dimaknai juga sebagai saatnya membeningkan alam pikir maupun batiniah, lebih mengkhusukkan wirit dan dzikir teruntuk memohon berkah karomah anugerah kepada Gusti Kang Maha Welas Asih.

 Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Nama Japamantra dan Doa

Dalam tradisi Jawa, bulan Sura juga dianggap sebagai saat paling tepat untuk  membersihkan atau mensucikan kotoran badan wadak atau secara lahiriyah maupun katarak jiwa atau atau noktah hitam batiniah kita.

Adat tradisi Jawa mensucikan badan wadak atau secara lahiriyah, disimbulkan dengan ritual membersihkan diri dan ritual njamasi (membersihkan) beragam barang aji (keris, tombak, cundrik dan lainnya) sering juga disebut pusaka.

Termasuk diantaranya, membersihkan tempat-tempat peribadatan kepada Sang Kholiq, membersihkan makam ahli waris yang telah mendahului meninggal dunia, dan lainnya.

 Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Memaknai Falsafah Filosofi Pacul

Sedangkan untuk mensucikan katarak jiwa atau noktah hitam batiniah, para leluhur kita juga mengajarkan dan mencontohkan dengan menjalani berbagai macam laku ritual.

Diantaranya dengan laku prihatin puasa (puasa ngebleng, puasa mutih, puasa ngrowot, dan lainnya), kungkum atau merendam diri pada tempuran sungai serta sumber mata air, tapa mbisu dan lainnya.

Akulturasi Jawa Islam

 

Makna falsafah filosofi bulan Sura dalam mitologi jiwa jawine wong Jawi, warisan adiluhung bangsa kita inilah yang kemudian mengilhami Sultan Agung Hanyakra Kusuma.

 Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi: Nasi Tumpeng Kemerdekaan, Ilmu Mawujud Filosofi Kehidupan

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, tanggal 08 Juli 1633 Masehi Raja Mataram dinasti Islam pertama di Jawa tadi, menyatukan perhitungan penanggalan Jawa Kuna dengan pananggalan Islam, berdasar perhitungan tahun Hijriyah.

Akulturasi perhitungan penanggalan tahun Jawa Kuna yang berdasarkan perputaran matahari (syamsiyah), diganti dengan perhitungan penanggalan berdasarkan perputaran rembulan (komariah).

Nah, karena penanggalan ciptaan Sultan Agung Hanyakra Kusuma itulah, setiap jatuhnya tanggal 1 Sura (menurut perhitungan tahun Jawa) selalu bertepatan dengan hari pasaran tanggal 1 Muharram, menurut pehitungan penanggalan tahun Hijriyah.

 Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Memaknai Falsafah Filosofi Secangkir Kopi

Karya cipta Raja Mataram dinasti Islam pertama ini, disebut-sebut sebagai akulturasi yang sangat bijak. Pasalnya, selain berdasarkan keyakinan agama Islam juga berlandaskan saripatinya spirit spiritual jiwa jawine wong Jawi.

Moderasi Beragama

 

Inilah sebagai bukti nyata sekaligus pralambang, manunggaling bebrayan agung sekaligus golong-gilige toleransi antar umat beragama atau disebut moderasi beragam di era sekarang, sebenarnya telah tercipta sejak tahun 1633 Masehi.

Jikalau ditintingi dan dijlimati atau didedah lebih dalam lagi, sejak jaman nenek moyang kita antara kebudayaan Jawa dengan tuntunan agama Islam, bukan sebagai entitas yang memancing debat kusir, terlebih menyulut dan atau menyebabkan perpecahan warga masyarakat.

 Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Eling Pepeling Filosofi Caping

Pandangan Islam kejawen yang lebih mengutamakan isi katimbang kulit luarnya, memang lebih selaras dengan cita rasa maupun ciri khasnya budaya dan filosofi falsafah kehidupan wong  Jawa, di tengah  kemajemukan masyarakat.

Inilah yang semestinya dijadikan spirit spiritual, introspseksi, dan kontemplasi setiap datangnya bulan Sura, tahun baru Jawa yang bertepatan datangnya tahun baru Islam. ***

Kustawa Esye : Pimpinan Redaksi KaranganyarNews.com dan Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh (Spirit Reliqious, Cultural dan Education)

Editor: Kustawa Esye


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah