Jangan Bangun Rumah Sembarangan. Ini Petunjuk Leluhur Agar Rumah Penuh Berkah

30 Maret 2022, 15:20 WIB
Ilustrasi proses pembangunan rumah /pu.go.id/

KARANGANYARNEWS - Sebelum membangun sebuah rumah, terkadang seseorang dituntut untuk berpikir tentang berbagai hal, terutama terkait dengan arsitektur bangunan yang akan dibuat.

Sebab selain sangat terkait dnegan kenyamanan bangunan saat ditempati, beberapa kalangan memandang bahwa arsitektur bangunan yang dipikirkan secara khusus, bisa mendatangkan keberuntungan bagi orang yang menempati.

Pun demikian sebaliknya. Bila tanpa dipikir, dan asal dibuat, bukan tidak mungkin akan mendatangkan bencana.

Mungkin bagi sebagian orang hal ini dipandang terlalu mengada-ada, atau bahkan cenderung dicap irrasional.

Baca Juga: Jadi Korban Sumur Beracun, Warga Jatisrono Kehilangan Nyawa

Padahal secara logika, sebenarnya permasalahan ini bisa dijelaskan dengan sederhana. Di mana bila sebuah bangunan dibuat asal-asalan tanpa perencanaan arsitektur yang matang, tentu akan berdampak buruk pada pemiliknya.

Contoh yang mudah adalah penataan ruangan dalam bangunan. Bila tidak diperhitungkan dengan matang, maka hal itu bisa berpengaruh pada sirkulasi udara yang ada di dalam rumah itu.

Dan bila sirkulasi terganggu, maka bisa dipastikan para penghuni rumah itu tidak akan bisa hidup dengan sehat.

Bahkan tak jarang juga bisa memicu masalah lain, seperti konflik antar penghuni rumah, dan bahkan seretnya rejeki yang datang ke rumah itu.

Baca Juga: Memahami Daur Air untuk Keberhasilan Konservasi Air

Hal inilah yang terkadang tidak disadari oleh sebagian besar orang. Dengan alasan modernisasi, mereka lebih melihat bahwa hal tersebut sebagai bagian dari tradisi yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.

Padahal kenyataannya, justru apa yang terjadi benar-benar bisa dijelaskan secara ilmiah dan rasional.

Lepas dari penjelasan yang ilmiah tentang pentingnya penataan bangunan yang tepat, beberapa kelompok masyarakat memang meyakini bahwa perhitungan-perhitungan yang demikian cermat bisa memberi pengaruh tersendiri pada kehidupan si pemilik rumah.

Hal ini terutama dilakukan oleh mereka yang masih kuat memegang dan melestarikan tradisi leluhur.

Masyarakat Tionghoa misalnya, selama ini dikenal dengan teori-teori yang mengedepankan keseimbangan yin dan yang dalam merencanakan bentuk bangunan rumah mereka.

Perhitungan-perhitungan fengshui dan hongsui dari rumah yang akan dibangun benar-benar diperhitungkan dengan masak.

Baca Juga: Tak Bisa Ikut Padusan di Sendang Keramat, Coba Lakukan ini

Sebab mereka yakin bahwa rumah mereka adalah sumber kehidupan mereka. Karena itu, mereka tidak mau sembarangan dalam membuat rumah ataupun tempat usaha.

Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama yang masih memegang kuat tradisi nenek moyang.

Ada banyak hal yang akan dipikirkan saat mereka akan membangun sebuah rumah, terutama terkait dengan berbagai perhitungan yang didasarkan pada pawukon.

Pawukon sendiri dijadikan pertimbangan karena masyarakat Jawa meyakini bahwa kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh kondisi alam.

Sehingga mereka harus benar-benar mempertimbangkan datangnya waktu-waktu yang baik serta yang buruk, sebelum memutuskan melakukan sesuatu hal, termasuk membangun rumah.

Sebab bila salah pilih waktu, terutama bila jatuh pada waktu yang buruk, maka kesialan diyakini akan selalu menyertai kehidupan mereka.

Dikutip dari Majalah LIBERTY edisi April 2010, pakar pawukon asal Solo, KRHT Kresno Handayaningrat menegaskan bahwa pemilihan waktu yang tepat sangat diperlukan untuk bisa membangun sebuah rumah yang bisa mendatangkan berkah.

Sebab dari sekian waktu yang ada, hanya terdapat beberapa waktu saja yang memiliki kualitas sangat baik.

Baca Juga: Ternyata Ini Alasan Memilih Sendang Keramat sebagai Tempat Padusan

Selebihnya kualitasnya biasa-biasa saja, dan bahkan justru jelek karena mendatangkan kesialan.

“Ada banyak hal terkait waktu, yang harus dipikirkan sebelum seseorang memutuskan mengerjakan sesuatu, terutama membangun rumah. Hal terpenting adalah harus menghindari waktu jelek, seperti hari sampar wangke ataupun tali wangke. Selanjutnya juga terkait posisi naga dina. Di mana hal ini sangat berkaitan dengan arah hadap rumah yang akan dibangun. Bila pada saat membangun berhadapan dengan arah datangnya naga dina, maka otomatis rumah itu akan jauh dari keberuntungan. Sebab semua keberuntungan yang ada akan dimakan oleh naga, karena berada tepat di hadapannya,” jelas Kresno.

Selain waktu, tentu pemilihan tempat juga sangat berpengaruh pada bangunan yang akan didirikan.

Dalam cerita sejarah pembangunan Keraton Surakarta Hadiningrat, salah seorang penasihat spiritual Sinuhun Paku Buwana II (PB II), yaitu Tumenggung Honggowongso, harus menggunakan kemampuan spiritualnya untuk mendapatkan tempat yang cocok buat keraton.

Hal ini terjadi karena keraton yang semula berada di wilayah Kartasura, rusak parah akibat diserang pasukan Tionghoa.

Baca Juga: Jadi Istri Siluman Banteng Penguasa Pantai Utara, Wanita Ini Harus Siap Melayani Semalaman Tanpa Henti

Dan dengan bantuan Belanda, PB II akhirnya berhasil menduduki lagi keraton. Namun karena kondisi fisik keraton sudah sangat parah, akhirnya sang raja bersemedi untuk meminta petunjuk.

Dalam semedi itu dia mendapat vwangsit untuk memindahkan keraton.

Nah saat itulah Sinuhun PB II memerintahkan Tumenggung Honggowongso beserta beberapa orang kepercayaannya yang lain untuk mencari lokasi yang tepat.

Dengan menunggangi seekor gajah serta sambil terus berdoa dan menajamkan insting kekuatan batinnya, mereka akhirnya tiba di tempat yang dituju.

Ada tiga tempat yang saat itu terpilih sebagai alternatif lokasi pembangunan keraton baru, yaitu wilayah Kadipolo, lalu Sonosewu dan Solo.

Selanjutnya berdasarkan kemampuan spiritual yang dimiliki, akhirnya Tumenggung Honggowogso menyarankan daerah Solo sebagai tempat yang paling baik untuk pembangunan keraton.

Sebab keberuntungan akan selalu menyertai sehingga akhirnya Keraton Surakarta Hadiningrat bisa berkembang menjadi besar.

Bila pemilihan tempat sudah tepat, ada hal lain lagi yang juga perlu dipikirkan yaitu memberi syarat kepada tanah atau tempat yang akan dipakai untuk mendirikan bangunan.

Baca Juga: Astaga! Benda Mirip Bom Ditemukan di Dekat Kantor Gibran, Ada Apa?

Syarat di sini bisa diterjemahkan macam-macam. Sebagian orang ada yang menafsirkannya dengan mengadakan selamatan sambil berdoa.

Tapi ada pula yang menafsirkan dengan cara memasang atau menanam benda tertentu sebagai tumbal.

Hal ini dilakukan karena ada keyakinan bahwa setiap tempat di dunia ini memiliki penghuni.

Jadi sebelum seseorang memutuskan untuk menempati suatu lokasi, ada baiknya meminta ijin terhadap penghuninya yang lama, terutama yang berasal dari golongan mahluk gaib.

 “Banyak jenis tumbal yang bisa dipasang di sekitar rumah. Yang paling umum adalah kepala kerbau. Tumbal yang satu ini sering dipakai karena melambangkan kekokohan dan kekuatan. Sehingga diharapkan bangunan yang diberi tumbal itu akan senantiasa kokoh. Selain itu kekuatan gaib dari tumbal itu juga akan melindungi dari berbagai serangan berbagai kekuatan jahat,” terang Kresno.

Tumbal-tumbal lain yang juga biasa digunakan adalah berupa keris atau senjata pusaka lain.

Baca Juga: Hukum dan Makna Tradisi Padusan Jelang Ramadan, Awas Jangan Terjebak Maksiat!

Umumnya benda-benda ini memiliki kekuatan yang bisa menjaga sebuah bangunan tempat dia dikubur.

Kekuatan ini adakalanya bisa berujud sesosok mahluk mengerikan. Sehingga siapa saja yang hendak berbuat jahat pada para penghuni rumah itu, akan mengurungkan niatnya karena takut.

Selanjutnya dalam Primbon Betaljemur Adammakna juga disebutkan bahwa agar sebuah rumah bebas dari pencuri hendaknya di tiap tiang (soko guru) rumah ditanamkan telur busuk dan diberi kotoran si pemilik rumah.

Benda-benda ini konon adalah makanan kesukaan dari para danyang yang menunggu rumah. Sehingga dengan demikian mereka akan senantiasa menjaga dengan baik rumah-rumah itu.

Dan dalam proses pembangunan Keraton Surakarta Hadiningrat, diceritakan bahwa Tumenggung Honggowongso juga melakukan upaya spiritual dengan pemasangan tumbal.

Baca Juga: Silaturahmi FKUB dengan Forkompinda, Bahas Persiapan Ramadhan, Petasan, Capjikia, hingga Adu Jago

Bahkan konon dia juga mengencingi tanah di mana keraton itu didirikan sebagai upaya untuk menetralkan kekuatan jahat yang ada di tempat itu.

Tak hanya untuk melawan kekuatan-kekuatan jahat, jarak jatuhnya air kencing Tumenggung Honggowongso dijadikan sebagai patokan untuk menentukan ukuran keraton.

Sebab hal itu diyakini bisa membuat bangunan keraton yang didirikan akan abadi.

Dari gambaran tentang sejarah pendirian Keraton Surakarta Hadiningrat ini jelas menunjukkan adanya berbagai perhitungan tertentu sebelum memutuskan mendirikan bangunan di suatu tempat.

Dan meski kita tidak sedang membangun sebuah keraton, tentunya segala rangkaian uipaya spiritual seperti dalam pembangunan keraton juga perlu dipikirkan, meski dengan kondisi yang lebih sederhana.***

Editor: Langgeng Widodo

Tags

Terkini

Terpopuler