Antara Takdir, Kopi Pahit dan Kenikmatan Hidup Kita

14 April 2022, 04:31 WIB
Ustadz Drs. H. Moch Isnaeni, M.Pd. /dok pribadi/

Ngaji Bareng |.| Ustadz Drs. H. Moch Isnaeni, M.Pd.

JIKA takdir sudah menyapa, kita tak bisa mengelak darinya. Kebaikan ataupun kepahitan suratan takdir, kita harus menerimanya.

Takdir, semacam surga dan neraka yang memberikan rasa pada para penerimanya. Takdir baik yang pasti kita inginkan agar selalu bersama, namun kadang juga takdir buruk akan bersinggah di hidup kita.

Surga dunia ketika mendapatkan takdir baik, tapi neraka bila menerima takdir buruk biasa mereka sebut.

Baca Juga: Bersakit Hati Duluan Menuai Terbaik Kemudian

Kehidupan di dunia bagaikan permainan rubik, jika kita kreatif menyusunnya dengan baik maka rubik itu akan berwarna sempurna. Itulah kehidupan yang ingin berwana sempurna, dalam balutan takdir.

Ketika kita mendapatkan takdir yang monokrom buruk untuk kita, pasti kita tidak akan menerimanya karena bukan itu yang sejatinya sempurna untuk hidup.

Tapi kita bisa mengubah suatu takdir yang pahit, agar terasa nikmat saat kita menjalaninya. Seperti penyuka kopi pahit, ia akan menikmati kopi tersebut meskipun orang lain menganggap kopi itu tak ada nikmatnya.

Baca Juga: Terpancing Emosi dan Marah, Apakah Mematalkan Puasa Ramadhan?

Sama dengan hidup kita yang seharusnya kita nikmati, dengan menutup telingga dan mata agar terasa nikmat. Mendengarkan dan melihat orang lain yang lebih sempurna hidupnya, akan menambah kesedihan saja.

Kita seharusnya lebih suka dengan kepahitan yang nikmat, dari pada kenikmatan yang pahit.

Ketika diperjalanan ada seorang wanita yang membuat hati dan pikiran menjadi lebih positif, wanita itu adalah seorang pemulung yang membawa satu karung besar di punggungnya.

Baca Juga: 3 Suritauladan Merawat Kebersamaan Ala Rasulullah

Dengan semangat yang ia pancarkan di senyumannya pada setiap orang yang melihatnya, mungkin orang lain yang melihatnya mengganggap bahwa wanita itu hanya seorang pemulung tua yang mencoba menerima takdir.

Tapi bukan seperti itu yang sebenarnya, ia tersenyum kepada orang lain memang karena ia menikmati takdir kehidupan yang diberikan Tuhan olehnya.

Dia bersyukur dan masih bisa berkerja yang halal, meskipun menurut pandangan orang lain pekerjaannya sangat rendah penuh kekotoran dan menjijikkan. Kesabarannya akan takdir, mampu mengantarkannya pad kenikmatan hidup.

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Eling Pepeling Filosofi Caping

Bingkai kehidupan yang wanita itu ajarkan, secara tersirat mampu membuat kita tersadar untuk selalu bersyukur dan bersabar dalam menerima balutan takdir yang akan menghampiri kita.

Lepaskan egoisme dan gengsi kita pada orang lain, agar kehidupan kita selalu berwarna tanpa meninggalkan bekas hitam yang pudar. ***

Drs. H. Moch Isnaeni, M,Pd. |.| Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI)  Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM), Ketua Komisi Dialog FKUB, Pembina DDII, Sekretaris Dai Kamtibmas Polres dan praktisi dakwah media cetak maupun online di Kabupaten Klaten.

Editor: Kustawa Esye

Tags

Terkini

Terpopuler