Jejak Kebo Kanigoro (1), Pewaris Dinasti Majapahit Memilih Jalan Hidup Sunyi di Lereng Merapi

- 3 Oktober 2021, 12:33 WIB
Komplek pemakaman Ki Kebo Kanigoro di Dusun Pojok, Desa Samiran, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali
Komplek pemakaman Ki Kebo Kanigoro di Dusun Pojok, Desa Samiran, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali /Kustawa Esye/

KARANGANYARNEWS - Ki Ageng Kebo Kanigoro, memilih jalan hidup pahit, sebagai pengembara spiritual di lereng Merapi – Merbabu, katimbang terlibat pusara konflik politik, perebutan kekuasaan dinasti Kerajaan Majapahit.

Ki Kebo Kanigoro yang petilasan atau makamnya di Dusun Pojok, Desa Samiran, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, darah birunya mengalir trah Brawijaya V, penguasa terakhir dinasti Kerajaan Majapahit.

Beberapa referensi sejarah menyebutkan, Ki Kebo Kanigoro, putera  Andayaningrat IV, Adipati Pengging yang menikahi Ratu Pembayun, puteri  Brawijaya V.

Baca Juga: Syukuran Tiada Korban Pandemi, Warga Lereng Merapi Gelar Merthi Bumi

Urut-urutan sejarahnya dimulai dari Prabu Brawijaya V menikahi Putri Champa, Dewi Anarawati melahirkan tiga anak. Putri pertama, Ratu Pambayun dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa Kadipaten Pengging.

Putra kedua buah perkawinan Prabu Brawijaya V dengan Dewi Anarawati, bernama   Raden Lembu Peteng berkuasa di Kadipaten Madura. Dan putra yang ketiga, Raden Jaka Gugur.

Buah cinta Adipati Handayaningrat IV dan Ratu Pambayun, melahirkan Raden Kebo Kanigoro dan Raden Kebo Kenongo. Selisih usia keduanya, hanya terpaut satu tahun. Kebo Kanigoro lahir 1472 M, dan Kebo Kenongo lahir tahun 1473 M.

Baca Juga: Jejak Sejarah Angkringan (5), Arena Sosialita Tak Bedakan Strata Sosial

Raden Kebo Kanigoro sudah meninggalkan istana sejak muda. Niatnya pergi meninggalkan Pengging untuk menjadi vanaprastha, pengembara spiritual atau seorang pertapa muda.

Perjalanan spiritual Kebo Kanigoro sangaat panjang, hingga sampai di punggung Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, kini masuk wilayah administrasi Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali.

Menurut para pinisepuh di Kecamatan Selo, tempat pertapaan Raden Kebo Kanigara, berada di lereng gunung berapi legendaris dan menyimpan jutaan mistri belum terungkap, Gunung Merapi.

Baca Juga: Dibalik Patung PB VI di Selo, Raja Termuda Paling Berani Melawan Belanda

Tempat pertapaan Ki Kebo Kanigoro tersebut, kini dikenal dengan sebutan Desa Turgo, Kecamatan Selo. Konon, Turgo berasal dari kata ‘Anggentur Rogo’, dapat diartikan ‘gentur raga’, ‘mesu raga’, bertirakat. Turgo adalah tempat menempa raga dan spiritual Ki Ageng Kebo Kanigoro se masa mudanya.

Sebagai tempat menempa phisik dan pshikis (termasuk olah bathin spiritual), hingga kini Turgo masih dianggap sebagian besar warga setempat sebagai tempat keramat.

Penelusuran sumber lain, ada sementara pihak yang meyakini makam Ki Kebo Kanigoro di di Desa Turga. Bukan di Dusun Pojok, Desa Samiran, sebagaimana keyakinan warga Kecamatan Selo selama ini.

Baca Juga: Pengerjaan Belum Usai, Patung PB VI di Sela Kian Menarik Wisatawan

Tentu kepercayaan ini, masih sangat bisa diperdebatkan. Apalagi mengingat Kanigoro adalah penganut Shiva Buddha yang lazimnya dikremasi. Perdebatan bisa menjadi lebih panjang, karena ada juga yang berkeyakinan lain, Ki Kebo Kanigoro muksa.

Sebagai orang sakti, kemungkinan itu, sangat ada, seperti umumnya tokoh-tokoh besar yang muksa. Dan, tempat pamuksan itulah, yang dikenal sebagai makam, petilasan, di Dusun Pojok, Desa Samiran.

Sejak kepergian Raden Kebo Kanigoro dari Kadipaten Pengging, Raden Kebo Kenongo kembali kehilangan orang yang dicintai. Sebab, tak lama setelah itu ramandanya, Adipati Handayaningrat IV, mangkat kehadirat Illahi.

Baca Juga: Primbon Jawa, Inilah 6 Pasangan Hidup Teromantis Minggu Pahing

Sejak itulah, Kebo Kenanga  menggantikan sang ayah sebagai Adipati Pengging,  kemudian berjuluk Ki Ageng Pengging.

Sesuai adat tradisi kerajaan, seharusnya putra pertama yang menggantikan tahta ayahandanya. Namun demikian, Ki Kebo Kanigoro tetap bersikukuh dengan keputusan hidupnya sejak awal.

Pewaris tahta dinasti Kerajaan Majapahit ini, lebih memilih menjalani pahit dan sunyinyahidup di lereng Gunung Merapi – Merbbu. Sebagai pengembara spiritual, menjauhkan diri dari kubangan pusaran intrik polotik kekuasaan yang tak jarang menimbulkan pertumpahan darah. (kustawa esye/ bersambung) ***

Editor: Kustawa Esye


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah