Spirit Jiwa Jawi Ki Buyut Lawu
NASI Tumpeng, sarat falsafah filososofi kehudupan umat manusia. Baik terakit hubungan manusia dengan sesama ciptaan Sang Maha Pencipta (habluminnanas), demikian juga dengan Sang Kholiq (habluminallah).
Hingga kini kuliner warisan budaya bangsa Indonesia nan adiluhung ini, masih dilestarikan generasi bangsa. Dalam acara-acara tertentu, Nasi Tumpeng beserta kelengkapannya juga masih tersaji.
Semisal pada peringatan ulang tahun, peresmian suatu proyek, launching badan usaha waralaba, tasyakuran maupun acara istimewa lainnya. Termasuk juga, dalam setiap ‘pitulasan’, memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia.
Baca Juga: Bulan Sura dan Spirit Akulturasi Budaya Arab-Jawa
Selain ritual memotong tumpeng, sebelum pandemi Covid-19 lomba Nasi Tumpeng juga menjadi tradisi dalam setiap menyemarakkan ‘ambal warsa’ kemerdekaan.
Baik dalam suatu komunitas sosial, institusi suwasta demikian juga dalam semua tingkatan struktural lembaga pemerintahan. Bahkan, dalam peringatan HUT RI ditingkat RT, pun tak luput dari kemeriahan potong tempeng.
Sangat disayangkan, semakin banyaknya generasi bangsa yang tidak memahami falsafah filosofi Nasi Tumpeng, menjadikan kuliner khas Jawa ini, seakan tidak lebih hanya sebagai ‘pelengkap penderita’ dalam rangkaian acara.
Baca Juga: Merdeka dan Hijrah dari Pandemi, Indonesia Bersholawat Bareng Airlangga Hartarto dan Habib Syech