Perubahan Iklim, Indonesia Dorong Pengamatan Sistem Kebumian secara Sistematis

- 20 Juni 2024, 16:14 WIB
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menekankan pentingnya pengamatan sistem kebumian secara sistematis menghadapi perubahan iklim. (Foto Ilustrasi: Pixabay/ELG21)
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menekankan pentingnya pengamatan sistem kebumian secara sistematis menghadapi perubahan iklim. (Foto Ilustrasi: Pixabay/ELG21) /

KARANGANYARNEWS - Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menekankan pentingnya pengamatan sistem kebumian secara sistematis menghadapi perubahan iklim. Menurutnya, suhu permukaan bumi meningkat sangat cepat setiap tahunnya sehingga berdampak buruk pada kehidupan manusia dan seluruh mahluk hidup di bumi.

Berdasarkan laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), suhu permukaan global telah meningkat dengan cepat, rata-rata tahunan mencapai 1,45 derajat Celcius pada 2023 dibandingkan dengan baseline setelah era revolusi industri.

Padahal pada 2020 lalu, menurut laporan WMO tentang keadaan iklim global, kenaikan rata-rata suhu global adalah 1,2 derajat Celcius. Hal ini berarti hanya dalam beberapa tahun, ada peningkatan suhu permukaan cukup signifikan.

Baca Juga: Ramai Judi Online, Kominfo Gencar Lakukan Pencegahan lewat Sosialisasi dan Edukasi

"Pada 2023 tercatat sebagai tahun terpanas dan informasi ini hanya dapat diperoleh melalui pengamatan sistematis untuk fenomena kebumian. Tanpa pengamatan kebumian sistematis, informasi diberikan bisa menyesatkan atau salah. Pengamatan kebumian sistematis ini diperlukan, baik di tingkat nasional, regional, maupun global," ungkap Dwikorita Karnawati melalui sambungan online dalam Ocean and Climate Change Dialogue 2024, diselenggarakan United Nation Framework Convention on Climate Change di Bonn, Jerman, Selasa (13/06/2024), dilansir dari laman resmi BMKG, bmkg.go.id.

Ditambahkan, pengamatan sistematis sangat dibutuhkan untuk berbagai keperluan, di antaranya, memberikan data dukung dalam aksi adaptasi iklim, aksi mitigasi iklim, atau kebijakan apa pun terkait mitigasi dan adaptasi iklim. Pengamatan sistematis harus diikuti tindakan sistematis di segala lini agar dampak panas ekstrem dan perubahan iklim lainnya dapat ditangani secara efektif.

Baca Juga: Ruangguru Gelar Clash of Champions, University War Korea Versi Indonesia

Dwikorita Karnawati mencontohkan, informasi mengenai fenomena El Nino menyebabkan kenaikan panas laut yang meluas di Pasifik tropis bagian Timur merupakan hasil pengamatan kebumian sistematis, didukung pemantauan satelit.

Selain itu, prediksi Food and Agriculture Organization (FAO) mengenai ancaman krisis pangan pada 2050 mendatang juga merupakan hasil dari pengamatan kebumian sistematis secara global, nasional, dan lokal. Singkatnya, pengamatan sistematis memungkinkan seluruh negara di dunia melakukan analisis dan prediksi lebih lanjut.

"Analisis masa lalu merupakan cara untuk memvalidasi dampak dari peningkatan suhu yang berlangsung dan kondisi bumi kekinian. Selanjutnya, pada analisisi lebih lanjut didasarkan pada data pengamatan sistematis dapat diketahui ternyata perubahan iklim memberi tekanan pada sumber daya air yang sudah langka, menghasilkan hotspot air. Nah, hal ini dapat ditangkap dan dianalisis lagi berdasarkan pengamatan sistematis," paparnya.

Baca Juga: Daftar 23 Pemain Indonesia di ASEAN Boys Championship U16 2024, Turnamen Usia Muda Asia Tenggara

Dwikorita Karnawati menegaskan, peningkatan suhu global tidak dapat dianggap sepele. Tidak hanya berdampak pada suhu bumi makin panas. Kondisi itu juga meningkatkan frekuensi bencana hidrometeorologi, kekeringan, buruknya kualitas udara, kebakaran hutan dan lahan, gelombang panas, risiko kesehatan, penurunan kualitas hidup, hingga ancaman kelangsungan hidup spesies di bumi. Situasi demikian pada akhirnya tentu akan menganggu stabilitas perekonomian dan politik dunia.

Dalam kesempatan itu, Dwikorita Karnawati juga menyampaikan Indonesia meningkatkan jaringan pengamatan kebumian, baik di laut maupun darat. Hal ini juga diiringi peningkatan kapasitas pemrosesan data dan peningkatan penyebaran informasi kepada publik dan sektor pengguna.

Baca Juga: Tak Lolos SNBT 2024? Polteknaker Tawarkan Kuliah Gratis, Ini Link Pendaftarannya

"Salah satu fokus pengamatan kami (Indonesia-red) terhadap dampak perubahan iklim adalah laut. Hal ini karena kunci dari perubahan iklim adalah laut yang juga berinteraksi dengan atmosfer. Ini adalah upaya kami untuk memperkuat kapasitas prakiraan, prediksi, atau pun proyeksi," papar Dwikorita Karnawati.

"Jadi ketika kita berbicara tentang dampak perubahan iklim, kita tidak bisa mengabaikan integrasi pengamatan laut dan atmosfer, mulai dari pemrosesan data, analisis, prediksi, dan proyeksinya, hingga penyebar luasan hasil analisis/informasi untuk berbagai kepentingan layanan," sambung dia.

Dwikorita Karnawati berharap The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) menjadikan pengamatan sistematis untuk fenomena kebumian sebagai dasar negosiasi dan pengambilan kebijakan. Hal itu guna mendukung negara-negara di dunia mengambil tindakan sistematis untuk mengatasi perubahan iklim. ***

Editor: Andi Penowo

Sumber: bmkg.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah