“Sangat dibutuhkan juga kejernihan pikir, pengendapan hati nurani, kekhusukan dzikir dan strategi perang yang tidak terbaca lawan,” kata Ki Panji Koeswening kepada karanganyarnews.pikiran-rakyat.com, mengutip wejangan Nyai Dipo kepada cucunya.
Terlebih, dalam perjuangannya menghadapi Keraton Kartosuro yang telah mendapat dukungan penuh bala tentara colonial Belanda. Selain jumlah personil jauh berimbang, persenjataannya pun lebih kuat dan modern musuhnya.
Baca Juga: Jejak Raden Mas Said (3):Inilah Kawah Candradimuka Alap-alap Samber Nyawa
Salah satu perjuangan yang harus ditempuh, harus bergerilya sebagaimana menikmati bubur bekatul yang masih panas. Dimulai dari pinggiran, disedu melingkar menuju ke tengah hingga habis.
Maksudnya, memulai melumpuhkan dan menguasai kekuatan serta kekuasaan lawan dari pinggiran, setelah berhasil melumpuhkannya barulah menyergap pusat kekuasaan dan atau perlawanan di tengahnya.
Raden Mas Said beserta pengikutnya merasakan mendapat spirit luar biasa, dalam perjuangannya melenyapkan kolonial Belanda dari bumi pertiwi, seraya sangat bersyukur kepada Sang Kholiq dan berterima kasih kepada Nyai Dipo.
Baca Juga: Kemendikbud Tetapkan Tradisi Mondosiyo Sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Karena pencerahan dan spirit perjuangannya itulah, Raden Mas Said berikrar agar kelak kemudian hari dukuh tempat tinggal Raden Ayu Sulbiah atau Nyai Dipo, diberi nama Karanganyar, dan Nyai Dipo diberi nama Nyai Ageng Karang.
“Ikrar Raden Mas Said tadi pada sekitar tahun 1742-1744 Masehi,” Ki Panji Koeswening menambahkan. Catatan sejarah ini, diperkuat dengan keberadaan makam Nyai Ageng Karang di sekitar Masjid Raya Al Mukaromah Karanganyar.
Perjalanan sejarah selanjutnya, makam tokoh pergerakan dan perjuangan di lereng barat Gunung Lawu tersebut, dipindahkan ke sebelah timur di kampung Tegalan, Kecamatan dan Kabupaten Karanganyar. (Bersambung) ***