Ngaji Jiwa Jawi: Spiritual Reliqius Sura dalam Akulturasi Islam Kejawen

- 30 Juli 2022, 00:49 WIB
Kustawa Esye; Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh (Spirit Reliqious, Cultural & Education)
Kustawa Esye; Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh (Spirit Reliqious, Cultural & Education) /Dok Komunitas Kiai Damar Sesuluh /

Ngaji Jiwa Jawi |.| Kustawa Esye

ISLAM kejawen yang lebih mengutamakan isi katimbang kulit luarnya, lebih selaras dengan cita rasa khasnya budaya di tengah kemajemukan masyarakat.

Bulan Sura, tahun baru dalam penanggalan tahun Jawa, menurut tuntunan spiritual reliqius jiwa jawining wong Jawi, dimaknai sebagai bulan laku spiritual keprihatinan.

Banyak juga yang menganggap Bulan Sura saatnya introspeksi atau mawas diri, waktunya kontemplasi, membersihkan katarak jiwa dan mensucikan noktah hitam hati nurani.

Baca Juga: Apa Beda 1 Suro dengan 1 Muharam? Simak Penjelasannya

Bertumpu pada kekuatan serta kesadaran spiritual reliqius dan kepekaan mata batin umat manusia, segala lelaku ngesuh jiwa selama Bulan Sura lebih dimaknai sebagai wahana membersihkan segala aura spiritual negatif dalam jatidiri kita.

Selebihnya, juga merupakan tangga meditasi penggapaian cita-cita luhur seluruh umat manusia. Baik dalam sunatullahnya sebagai khalifah di muka bumi, demikian juga perannya sebagai hamba Allah Sang Maha Pencipta.

Termasuk juga dalam dimensi hubungan sesama umat manusia atau habluminannas, demikian juga dalam proses pemenuhan kuwajiban hubungan pengabdian kita kepada Allah Yang Maha Kuasa, habluminallah. 

Baca Juga: Jangan Lewatkan, Ini Bacaan Doa Awal dan Akhir Tahun Baru Islam 1 Muharam 1444 Hijriah

Tanggal 1 Bulan Sura, tahun baru Jawa yang bersamaan tanggal 1 Muharrom tahun baru Islam menurut penanggalan Hijriyah, dalam adat tradisi masyarakat Jawa dianggap juga sebagai bulan keramat dan sakral.

Warga masyarakat yang memiliki talenta sensitivitas spiritual reliqius, sering disebut juga alam tidak kasat mata  atau indra ke enam, menganggap Bulan Sura sebagai bulan istimewa dibandingkan sebelas bulan lain, menurut penanggalan tahun Jawa.

Sura yang dalam bahasa Jawa Kawi berarti ‘dewa’, dalam kamus Bahasa Jawa gagrag anyar berarti ‘wani’ (berani), diprecaya juga sebagai momentum paling tepat untuk ngeningke cipata, rasa dan karsa.

Baca Juga: 4 Pusaka Majapahit Tersimpan di Museum Amerika, Inilah Kisah Heroiknya

Selebihnya, juga disebut saatnya membeningkan alam pikir maupun batiniah, lebih mengkhusukkan wirit serta dzikir juga memohon berkah karomah anugerah Gusti Kang Maha Welas Asih.

Dalam tradisi Jawa, Bulan Sura juga dianggap sebagai momentum paling tepat untuk  membersihkan sesuatu yang bersifat lahiriyah atau badan wadak maupun batiniah.

Adat tradisi membersihkan segala sesuatu yang bersifat lahiriyah, disimbulkan dengan ritual njamasi (membersihkan) beragam barang aji (keris, tombak, cundrik dan lainnya) sering juga disebut pusaka.

Baca Juga: Inilah Jejak Keemasan Majapahit, 4 Tombak Pusaka Tersimpan di Amerika

Termasuk diantaranya, membersihkan tempat peribadatan kepada Sang Kholiq, membersihkan makam ahli waris yang telah mendahului meninggal dunia, dan lainnya.  

Sedangkan untuk mensucikan batiniah kita, baik katarak hati nurani maupun noktah hitam jiwa, para leluhur kita mencontohkan dengan menjalani berbagai macam ritual spiritual reliqius.

Diantaranya dengan laku prihatin (puasa puasa ngebleng, puasa mutih, puasa ngrowot, dan lainnya), kungkum atau merendam diri pada tempuran sungai, tapa mbisu dan lainnya.

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Memaknai Falsafah Filosofi Pacul

Makna falsafah filosofi bulan Sura dalam mitologi jiwa jawine wong Jawi, warisan adiluhung bangsa kita inilah yang kemudian mengilhami Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, tanggal 08 Juli 1633 Masehi Raja Mataram dinasti Islam pertama di Jawa tadi menyatukan perhitungan penanggalan tahun Jawa Kuna dengan pananggalan Islam, berdasar perhitungan tahun Hijriyah.

Akulturasi perhitungan penanggalan tahun Jawa Kuna yang berdasarkan perputaran matahari (syamsiyah), diganti dengan perhitungan penanggalan berdasarkan perputaran rembulan (komariah).

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Nama Japamantra dan Doa

Nah, dari penanggalan ciptaan Sultan Agung Hanyakrakusuma itulah, setiap jatuhnya tanggal 1 Sura (menurut perhitungan tahun Jawa) selalu bertepatan dengan hari pasaran tanggal 1 Muharram, menurut pehitungan penanggalan tahun Hijriyah.

Karya cipta Raja Mataram dinasti Islam pertama ini, disebut-sebut sebagai akulturasi yang sangat bijak. Pasalnya, selain berdasarkan keyakinan agama Islam juga berlandaskan saripatinya spirit spiritual jiwa jawine wong Jawi.

Inilah sebagai bukti nyata sekaligus pralambang, manunggaling bebrayan agung sekaligus golong-gilige toleransi antar umat beragama, sebenarnya telah tercipta sejak tahun 1633 Masehi.

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Eling Pepeling Filosofi Caping

Jikalau ditintingi dan dijlimati atau didedah lebih mendalam lagi, sejak jaman nenek moyang kita antara kebudayaan Jawa dengan tuntunan agama Islam, bukan sebagai entitas yang memancing debat kusir, terlebih menyulut dan atau menyebabkan perpecahan warga masyarakat.

Pandangan Islam kejawen yang lebih mengutamakan isi katimbang kulit luarnya, memang lebih selaras dengan cita rasa maupun ciri khasnya budaya dan filosofi falsafah kehidupan wong  Jawa, di tengah  kemajemukan masyarakat.

Inilah yang semestinya dijadikan spirit spiritual, introspseksi, dan kontemplasi setiap datangnya Bulan Sura, tahun baru Jawa yang bertepatan datangnya tahun baru Islam. ***

Kustawa Esye : Pimpinan Redaksi KaranganyarNews.com dan Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh (Spirit Reliqius, Cultural & Education)

Editor: Kustawa Esye


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah