Baca Juga: Mudik Lebaran, Inilah 5 Rangkaian Doa Selamat Sampai Tujuan
Maka tidak perlu mencari berbagai pembenaran, apalagi menggunakan riwayat-riwayat yang sebagian perlu diteliti kembali keshahihannya dan sebagian lagi bersifat kasuistik.
Namun demikian, satu atau beberapa kesalahan yang dilakukannya tidak boleh membuat kita melupakan sekian banyak kebaikan, jasa dan kelebihan yang dimilikinya. Apalagi kalau sesungguhnya kesalahan atau kekhilafan itu lebih bersifat responsif.
Tak salah kalau kita ulang-ulang syair lama yang selalu relevan ini;
وَعَيْنُ الرِّضَا عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَةٌ وَلَكِنَّ عَيْنَ السُّخْطِ تُبْدِي الْمَسَاوِيَا “Pandangan suka, terhadap sekalian aib menjadi buta. Pandangan benci menampakkan segala yang salah.”
Ada yang bertanya, apakah salah menyebut seseorang dengan sesuatu yang memang dilakukannya? Apakah batu akan berubah menjadi emas kalau ia disebut emas? Berarti tak ada salahnya menyebut sesuatu sesuai dengan kenyataannya.
Baca Juga: Catat dan Amalkan, Wirid Tolak Miskin Ala KH Maimoen Zubair
Memang, penghalusan istilah terhadap sebuah maksiat bisa berdampak pada berkurangnya rasa kebencian (an-nufur) terhadap maksiat itu, padahal mau disebut koruptor atau disebut maling hakikatnya tetap sama yaitu mengambil harta yang bukan haknya.
Benar bahwa sesuatu mesti disebut sesuai dengan kenyataannya, akan tetapi dengan syarat tidak dalam konteks merendahkan, apalagi menghina.
Dikisahkan, suatu ketika Imam Tajuddin as-Subki, saat masih remaja, melihat seekor anjing masuk ke rumahnya. Ia pun menghardik anjing itu dan berkata: