Ngaji Jiwa Jawi; Memaknai Falsafah Filosofi Secangkir Kopi

10 April 2022, 11:15 WIB
Kustawa Esye Redaktur dan Budayawan /Dok Kiai Damar Sesuluh/

Oleh |.| Kustawa Esye

KOPI, semua orang pasti pernah menikmati seduhan kopi. Minum kopi yang dituangkan dalam cangkir, telah menjelma sebagai budaya masyarakat di berbagai penjuru dunia.

Bagi para penikmat atau pandemen kopi, nyeruput  meminum khas ini tidak sekedar memadukan bubuk biji kopi yang telah disangrai,  dengan air panas dan ditaburi gula.

Untuk menjadikan minuman kopi yang bercitarasa khas, harus diracik dengan takaran bahan baku yang benar-benar akurat dan pas, tidak lebih dan tudak juga kurang.

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Memaknai Falsafah Filosofi Pacul

Itulah sebabnya, akurasi tri atunggal (bubuk kopi, gula dan air panas) yang menjadikan nikmatnya minuman kopi tadi, merupakan sains atawa ilmu pengetahuan yang tidak dapat diajarkan secara teoritis.

Jas merah, jangan melupakan sejarah. Semenjak masuknya kopi di bumi Nusantara hingga saat ini, sebenarnya terdapat cerita panjang yang tidak tercatat sejarah dan tak diketahui para pandemen seduhan kopi.

Baik terkait kesedihan dan kesengsaraan para petani kopi di masa penjajahan Belanda, hingga masa keemasan bangsa Indonesia sebagai negara penghasil kopi teristimewa di dunia.

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Nama Japamantra dan Doa

Dalam kurun waktu tahun 1700-an,  Benua Eropa begitu terpesona dengan kenikmatan kopi arabika dari tanah Jawa, diperkenalkan oleh Belanda lewat perusahaan dagangnya (VOC).  

Saking populernya, hingga muncullah istilah a cup of Java (secangkir Jawa) untuk menyebut secangkir kopi dari tanah Jawa.

Tidak aneh, masyarakat Jawa yang sejak jaman nenek moyang kita memang telah dikenal sangat kreatif dalam berolah kata, ngothak-athik tembung menjadikan seduhan kopi sebagai pitutur luhur filosofi  falsafah kehidupan nan adiluhung.

Baca Juga: Katuranggan; Gairah Asmara Wanita dari Wajah dan Posturnya

Kopi, dalam dimensi spirit spiritual jiwa jawining wong Jawa dimaknai sebagai kopyoring pikir atau owah gingsire (ketidakstabilan) pemikiran manusia. Itulah sebabnya, kopi itu serasa pahit sebagaimana pahit getirnya kehidupan manusia.

Meski demikian, sak pahit-pahite kopi isih bisa digawe legi dimaknai legawaning ati (kelegaan hati/ berlapang dada). Caranya, dengan ditaburu gula jarwa dasa dari gulangane rasa (mengelola perasaan baik atau tidak berburuk sangka).

Gula berbahan baku tebu, diartikan mantebe kalbu (kebulatan dan kemantapan hati). Sebagai tempat atau wadahnya, kopi bubuk dan gula ditempatkan dalam cangkir, dalam bahasa Jawa kata cangkir kependekan dari nyancang pikir (mengikat dan atau mengencangkan pemikiran).

Baca Juga: Wajib Tahu, Primbon Sederet Pasangan Weton Paling Tak Berjodoh

Langkah selanjutnya, adalah dikocori wedang (disedu air panas) dimaknai wejangan kang marahi padang atine (ajaran moralitas religius yang mencerahkan atau menentramkan hati).

Jangan lupa, untuk tercipta kenikmatan citarasa dan aroma khasnya seduhan kopi, harus diaduk Bahasa Jawanya diudheg yang makna katanya ngupaya lan ngrekadaya ora mandeg (berupaya sekuat tenaga dan terus menerus).

Mengaduknya tidak pakai alat lain, tapi disyaratkan harus menggunakan sendhok dimaknai sendhekno marang Kang Maha Kuwasa (serahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa).

Baca Juga: Hitungan Primbon Tak Berjodoh; Catat, Ini Sederet Solusi Tanpa Sesaji

Jangan langsung diminum, untuk dapat menikmati citarasa serta aroma kopi yang khas nikmatnya, ditunggu sampai rada adem, atau digawe lerem atine (ditentramkan hati nuraninya) barulah diminum dengan cara disruput yang berarti sedaya goda rubeda bakal luput (semua godaan akan terhindar). ***

Kustawa Esye |.| Redaktur Pikiran Rakyat Media Network (PRMN) dan Budayawan, Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh (Spirit Reliqious, Cultural & Education)

Editor: Kustawa Esye

Tags

Terkini

Terpopuler