Ngaji Jiwa Jawi; Mendedah Revolusi Mental Ala Serat Kalatida

17 April 2022, 10:25 WIB
Kustawa Esye /Dok Komunitas Kiai Damar Sesuluh/

Oleh |.|Kustawa Esye

“Amenangi jaman édan // éwuhaya ing pambudi // mélu ngédan nora tahan // yén tan mélu anglakoni // boya keduman mélik // kaliren wekasanipun // ndilalah kersa Allah // begja-begjaning kang lali // luwih begja kang éling klawan waspada"./// (Serat Kalatida; R.Ng. Ronggo Warsito)

Revolusi mental sebenarnya bukan hal baru dalam piwulang  luhur jiwa jawining wong Jawa.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, semenjak jaman keemasan kerajaan di Nusantara, revolusi mental telah digaungkan melalui seruan spirit religius selaras  keragaman karakteristik dan kemajemukan kultur bangsa kita.

Salah satu diantaranya, ‘Serat Kalatida’ warisan adiluhung Raden Ngabehi Ronggo Warsito (1808-1873). Kutipan karya sastra tembang macapat di atas, merupakan seruan revolusi mental.

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Eling Pepeling Filosofi Caping

Gubahan pujangga agung Keraton Surakarta Hadiningrat tadi, terjemahan bebasnya sebagaimana tersurat di bawah ini;

”Inilah jaman edan // serba repot dalam bersikap atau bertindak // ikut edan tidak tahan // tapi kalau tidak ikut-ikutan edan // tidak akan mendapatkan bagian //  hingga akhirnya kelaparan // namun inilah suratan (taqdir) allah // seberuntung-untungnya orang yang lupa // masih tetap lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada // ”.

Wasiat ronggowarsito ini, masih relevan dan kontekstual untuk menggambarkan carutmarutnya moralitas negeri ini.

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Memaknai Falsafah Filosofi Secangkir Kopi

Baik para pejabat negara, birokrat, elit parpol, dan aparatur penegah hukum pun masih kasak-kusuk dan hiruk pikuk mencari kesempatan dan peluang untuk korupsi, manipulasi, kolusi, dan nepotisme.

Tidak hanya masyarakat pedesaan yang jauh dari perkotaan, warga Negara yang bermukim di kota pun makin kian banyak yang hidup dibawah garis merah kemiskinan.

Kesehariannya pontang-panting membanting tulang, tak lebih hanya dapat meraih penghasilan untuk sekali makan. Keadilan dalam segala aspek kehidupan, kian menggejala bahkan disebut-sebut makin merajalela.

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Nama Japamantra dan Doa

Realitanya memang demikian. Di tengah kian sempit dan sulitnya kesempatan kerja, harga kebutuhan pokok pun kian membubung tinggi, hingga makin tak terjangkau mayoritas masyarakat akar rumput.

Karena kemendesakkan pemenuhan tuntutan kebutuhan hidup, menyebabkan kian banyak juga orang kalap. Demi bertahan hidup, terpaksa mereka menempuh jalan pintas.

Terpaksa menjalani prilaku yang sebenarnya dia ketahui, nalisir dari hati nurani, ajaran moralitas, maupun tuntunan agama.

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Memaknai Falsafah Filosofi Pacul

Inilah zaman edan, sebagaimana diwasiatkan Pujangga Agung Rangga Warsito tadi. Tidak hanya rakyat jelata, masyarakat akar rumput yang hidupmnya serba sulit dan kian terhimpit.

Para pejabat negara, birokrat, elit parpol, dan aparatur penegak hukum (jika mau blak kotang terus terang) juga tengah dihadapkan dengan kondisi psikis maupun psikologis yang serba sulit untuk bersikap tegas, sesuai hati nurani dan atau akal sehatnya.

Ewuh aya ing pambudi”, demikian realitanya. Mau Ikut ngedan tidak tahan, karena  bertentangan dengan kata hati nurani maupun moralitas. Jikalau tidak ikut-ikuta ngedan, tidak akan kebagian yang akirnya kelaparan.    

Karena itulah, konsep yang ditawarkan Pujangga Agung Ronggo Warsito rakyat harus segera dibangkitkan jiwa revolusionernya. Rakyat juga harus disadarkan,  jikalau negara sedang menuju satu fase kehancuran.

Baca Juga: Mandi Junub Setelah Imsak, Batalkah Puasa Ramadhannya?

Rakyat juga tak boleh lengah atau terbuai dengan publisitas, terkait capaian-capaian ekonomi makro atau mikro. Fakta sosialnya, lebih dari 50 juta rakyat Indonesia kini hidup dalam kesengsaraan.

inilah lanskap sosial yang dirundung “kebodohan” alias “kejahiliyahan” pasca kemerdekaan yang heroik patriotik, penuh dengan narasi-narasi epik. mengapa kita harus melakoni era “kebodohan” atau “kejahiliyahan”?

Jawabnya, karena bangsa ini sudah melupakan banyak wasiat historis dari para pendiri negara; meninggalkan konstitusi UUD 1945 yang murni, meninggalkan ideologi pancasila dengan segala keluhuran nilai budayanya.

Baca Juga: Potong Rambut Kemaluan di Bulan Ramadhan, Batalkah Puasanya?

Selebihnya, juga meninggalkan karakternya sebagai bangsa pejuang, meninggalkan konsepsi atau ajaran Bung Karno tentang Tri Sakti; Berdaulat secara politik, ekonomi serta berkepribadian sesuai dengan karakter budaya sendiri.

Begitu banyak nilai-nilai adi luhung warisan nenek moyang bangsa yang tidak dirawat, dikelola dan dilestarikan. Hingga bermuara pada realitas hidup berbangsa yang terlampau pahit, getir dan dirundung rasa kekawatiran. ***

Kustawa Esye |.| Redaktur Pikiran Rakyat Media Network (PRMN) dan Budayawan, Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh (Spirit Reliqious, Cultural & Education)

Editor: Kustawa Esye

Tags

Terkini

Terpopuler