Dalam kurun waktu tahun 1700-an, Benua Eropa begitu terpesona dengan kenikmatan kopi arabika dari tanah Jawa, diperkenalkan oleh Belanda lewat perusahaan dagangnya (VOC).
Saking populernya, hingga muncullah istilah a cup of Java (secangkir Jawa) untuk menyebut secangkir kopi dari tanah Jawa.
Tidak aneh, masyarakat Jawa yang sejak jaman nenek moyang kita memang telah dikenal sangat kreatif dalam berolah kata, ngothak-athik tembung menjadikan seduhan kopi sebagai pitutur luhur filosofi falsafah kehidupan nan adiluhung.
Baca Juga: Katuranggan; Gairah Asmara Wanita dari Wajah dan Posturnya
Kopi, dalam dimensi spirit spiritual jiwa jawining wong Jawa dimaknai sebagai kopyoring pikir atau owah gingsire (ketidakstabilan) pemikiran manusia. Itulah sebabnya, kopi itu serasa pahit sebagaimana pahit getirnya kehidupan manusia.
Meski demikian, sak pahit-pahite kopi isih bisa digawe legi dimaknai legawaning ati (kelegaan hati/ berlapang dada). Caranya, dengan ditaburu gula jarwa dasa dari gulangane rasa (mengelola perasaan baik atau tidak berburuk sangka).
Gula berbahan baku tebu, diartikan mantebe kalbu (kebulatan dan kemantapan hati). Sebagai tempat atau wadahnya, kopi bubuk dan gula ditempatkan dalam cangkir, dalam bahasa Jawa kata cangkir kependekan dari nyancang pikir (mengikat dan atau mengencangkan pemikiran).
Baca Juga: Wajib Tahu, Primbon Sederet Pasangan Weton Paling Tak Berjodoh
Langkah selanjutnya, adalah dikocori wedang (disedu air panas) dimaknai wejangan kang marahi padang atine (ajaran moralitas religius yang mencerahkan atau menentramkan hati).
Jangan lupa, untuk tercipta kenikmatan citarasa dan aroma khasnya seduhan kopi, harus diaduk Bahasa Jawanya diudheg yang makna katanya ngupaya lan ngrekadaya ora mandeg (berupaya sekuat tenaga dan terus menerus).