Dalam filosofi filsafah jiwa jawaning wong Jawi, Nasi Tumpeng disebut-sebut sebagai ajaran hakekat kehidupan dari nenek moyang bangsa, diekspresikan melalui penyajian kuliner.
Ajaran adi luhung ini tidak disampaikan melalui bahasa lisan maupun tulisan, lebih merupakan ilmu kasunyatan atau ‘bahasa rupa’ yang padat dan sarat makna falsafah filosofi kehidupan.
Baik pernak-pernik puluhan jenis bahan bakunya, ubarampe peralatan memasaknya, ketentuan penyajiannya hingga ritual pemotongan dan pembagiannya.
Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Nama Japamantra dan Doa
Itulah sebabnya, jikalau salah satu bahan baku Nasi Tumpeng tidak terpenuhi, demikian juga urut-urutan rangkaian dan tahapannya terlewatkan, dianggap menghilangkan mata rantai wejangan filosofi maupun hakikat kehidupan.
Pralambang yang diajarkan melalui peralatan memasak, contohnya. Paling tidak, terdapat enam unsur utama dalam jagad makrokosmos maupun mikrokosmos.
Api melambangkan cahaya matahari, pawon atau tungku (dari batu bata merah yang berbahan tanah) simbul bumi, dan dandang disebutkan sebagai perlambang gunung.
Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Mendedah Revolusi Mental Ala Serat Kalatida
Sedangkan air yang juga sebagai unsur terpenting memasak Nasi Tumpeng, sebagai simbul sumber kehidupan, kukusan (kerucut) kawah gunung berapi, kayu bakar unsur tumbuhan atau hutan, dan beras yang dimasak sebagai simbul kemakmuran.
Bahan baku Nasi Tumpeng yang berwarna putih putih bersih, sebagai perlambang segala sesuatu yang kita makan haruslah bersumber dari yang bersih atau dalam bahasa agamanya halal.