KARANGANYARNEWS - Upaya penguatan payung hukum Dewan Kesenian yang sering menjadi topik pembahasan dalam forum-forum pertemuan dewan kesenian se-Indonesia, selalu kandas di tengah jalan.
Persoalan klasik yang dianggap klise ini, bahkan sudah mengemuka sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, demikian hingga saat ini belum ditemukan solosinya.
Demikian diungkapkan Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah, Gunoto Saparie terkait akan berlangsungnya Musyawarah Nasional Dewan Kesenian di Jakarta, 10-14 Desember 2023 mendatang.
Baca Juga: 5 Tempat Nongkrong Terkini di Tawangmangu: Rekomended Teruntuk Libur Natal dan Tahun Baru 2023
Musyawarah nasional ini, sebagai tindak lanjut Kongres Kebudayaan Indonesia 2023. Maklumat yang dikeluarkan dalam kongres di Jakarta belum lsms ini, disebutkan transformasi tata kelola dewan Kesenian dan atau dewan kebudayaan menjadi prioritas kelembagaan untuk membangun pemajuan kebudayaan.
Menurut Gunoto, istilah musyawarah nasional barangkali dipakai untuk gagah-gagahan saja. Sebelumnya, pertemuan dewan kesenian se-Indonesia pernah menggunakan istilah kongres, seperti yang pernah dilakukan di Sasana Krida, Jayapura, dan Papua tahun 2005.
Rakernas
Istilah kongres, seingat Gunoto dimunculkan Ketua Dewan Kesenian Jakarta, ketika itu Ratna Sarumpaet yang kala itu Posisinya juga sebagai Ketua Badan Kontak Dewan Kesenian Provinsi se-Indonesia yang sangat berpengaruh.
Baca Juga: Inspiratif! Ini Cerita Nucha Bachri dan Ario Pratomo Terapkan Self-Care di Shopee 12.12 Birthday
Karena itulah istilah kongres di usulkan Ratna Sarumpeat dipakai begitu saja, meskipun tanpa ada acuan anggaran dasar organisasi, seperti halnya istilah Munas yang sekarang dipakai.
Era setelah Ratna Sarumoeat, menurut Gunoto, ketika Dewan Kesenian Jakarta mempertemukan Dewan Kesenian Provinsi se-Indonesia, tidak lagi menggunakan istilah kongres.
"Ketika Dewan Kesenian Jakarta dipimpin Marco Kusumawijaya, istilah yang dipakai lebih netral, yaitu pertemuan nasional yang beberapa kali dilakukan di Jakarta, Malang, dan Lampung", terang dia.
Baca Juga: Kesaialan Hidup Weton Sabtu Wage: Menurut Primbon Jawa, Rawan Jatuh Miskin Terjerat Pinjol
Disebutkan Pernah juga sebelumnya memakai istilah pra-munas, rakernas, dan lainnya, tepatnya sewaktu Ketua Dewan Kesenian Jakarta dipegang Salim Said.
Lembaga Nonstruktural
Masih menurut Gunoto, ketika itu upaya penguatan payung hukum selalu menjadi bahan pembahasan yang tak kunjung terealisasi. Padahal dalam forum itu hadir sejumlah pejabat Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dewan Kesenian yang dibentuk dengan mengacu Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 5A Tahun 1993, menurutnya jelas sangat lemah, karena sistem perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal instruksi menteri.
"Hal itu dapat kita lihat pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan atau Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan", kata dia menambahkan.
Menurut Gunoto, sebaiknya Dewan kesenian provinsi se-Indonesia mengikuti saja langkah Dewan Kesenian Jakarta.
Karena menurutnya Dewan Kesenian Jakarta tidak dibentuk dengan mengacu pada Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 5A Tahun 1993, melainkan berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2020 tentang Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta.
Sebagai regulasinya, Peraturan gubernur lebih kuat karena sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Dijelaskan, yang dilakukan Dewan Kesenian Jakarta sangat tepat dan lebih pragmatis.
Tidak perlu menunggu adanya regulasi semacam peraturan menteri dalam negeri atau peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan. Dengan peraturan Gubernur Dewan Kesenian dapat menjadi lembaga nonstruktural (LNS).
"Soal pendanaannya dapat dengan pembebanan anggaran di APBD sesuai klasifikasinya sebagai LNS,” kata Gunoto Saparie Ketua Umum Dewan Kesenian Provinsi Jawa Tengah yang juga Ketua Umum Satupena Jawa Tengah.***