Dibalik Patung PB VI di Selo, Raja Termuda Paling Berani Melawan Belanda

15 September 2021, 20:04 WIB
Patung Pakoe Buwono VI di simpang tiga Kecamatan Selo, inzet: wajah Pakoe Buwono VI /fbm-kustawa esye/

KARANGANYARNEWS - Keberadaan patung di simpang tiga bekas lapangan Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, tak lepas dari sejarah Pakoe Buwono VI, raja termuda paling berani melawan kolonial Belanda.  

Di Kecamatan yang berada di lereng gunung Merapi Merbabu inilah, Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat tersebut menyusun dan mengatur strategi melawan kolonial Belanda di negeri ini.

Tak hanya itu, Pakoe Buwono yang juga getol laku spiritual ‘tapa brata’, pun menjadikan area perbukitan berudara sejuk nan asri ini sebagai tempat ritual menjernihkan fikir dan mengkhusukkan dzikir kepada Sang Pencipta.

Baca Juga: Pengerjaan Belum Usai, Patung PB VI di Sela Kian Menarik Wisatawan

Karena ketekunannya laku spiritual itu juga, Pakoe Buwono VI dikenal dan dijuluki Sinuhun Banguntapa.  Tempat laku spiritualnya itu, sampai sekarang masih ada dikenal sebagai Gua Raja, di sebelah utara simpang tiga Selo.

Beberapa referensi sejarah menyebutkan, Pakoe Buwono VI yang bernama kecil Gusti Bandoro Raden Mas (GBRM) Sapardan, merupakan raja termuda kenaikan tahtanya, sepanjang sejarah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.  

Dinobatkan sebagai raja 15 September 1823, selang 10 hari setelah ayahandanya Pakoe Buwono V meninggal dunia. Kala mengemban amanah sebagai raja, GBRM Supardan yang berpostur kecil itu masih berusia 16 tahun.

Baca Juga: Sedekah Tumpeng, Ritual Warga Stabelan Penangkal Erupsi Merapi dan Pandemi Covid-19

Mengetahui yang dinobatkan raja trah Mataram masih terlampau muda, secara kebetulan postur tubuhnya pun kecil,  menjadikan kompeni atau kolonial Belanda yang kala itu sebagai penguasa di Tanah Jawa, memandangnya sebelah mata.

Tak terbersit di benak para pimpinan pemerintahan Belanda di Tanah Jawa, dibalik tubuh kecilnya raja muda yang baru saja bertahta ini, tersimpan spirit menentang penjajahan yang berkobar dalam jiwa patriotnya.

Semasa bertahta Sri Susuhunan Pakoe Buwono VI juga mendukung penuh perjuangan Pangeran Diponegoro, tak lain adalah pamannya, dalam perang gerilya melawan Kolonial Belanda di Tanah Jawa.

Baca Juga: Kuliah Ngonthel Bayat-Jogya, Anak Desa Raih Gelar Guru Besar Teknik Mesin

Dua patriot bangsa ini, tercatat dalam sejarah sering melakukan pertemuan rahasia, untuk membahas strategi dan siasat perang gerilya melawan penjajahan kolonial Belanda.

Pakoe Buwono VI juga selalu menyuplai logistik bagi gerilyawan Pangeran Diponegoro. Diantara tempat paling sering untuk pertemuan rahasianya, di lereng Merapi Merbabu kini masuk Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali.

Sejarah perang gerilya pun bergulir, hingga heroisme yang disebut Perang Jawa ini usai di tahun 1830 , ditandai ditangkapnya Pangeran Diponegoro dan diasingkan ke Manado, sebelum akhirnya dibuang ke Makasar.

Baca Juga: Divaksinasi Dihadapan Presiden, Joko Widodo Tersendu Menangis Haru

Sri Susuhunan Pakoe Buwono VI pun ditangkap Belanda dan dibuang ke Ambon (Maluku), hingga wafat pada tahun 1849. dan jasadnya dipindahkan ke Makam Keluarga Raja wongso atau trah Mataram, di Imogiri tahun 1957.

Selain kegetolannya menjalani laku spiritual reliqius, Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat Pakoe Buwono VI, juga kesohor sebagai penyusun strategi perang ulung.

Salah satu keberhasilannya menyusun strategi perang, saat menggempur Benteng Vasternberg bersama pasukan telik sandi Joyomustopo yang lebih dikenal Mbah Jebres.

Baca Juga: Demi Ketemu Jokowi, Sejumlah Ibu di Desa Segaran Abaikan Sarapan Pagi

Karena keberanian dan jiwa patriotiknya menentang penjajah Belanda ini pula, tanggal 17 November 1964 Pakoe Buwono VI dianugerahi gelar Pahlawan Nasional  Pemerintah RI. ***

Editor: Kustawa Esye

Tags

Terkini

Terpopuler