Jejak Sejarah Angkringan (2), Spirit Mbah Karso Dikromo Merambah ke Jogjakarta

23 September 2021, 22:30 WIB
Angkringan di Jogjakarta tempo dulu, dagangannya ditaruh dalam kotak atau keranjang dijajakan dipikul keluar masuk kampung satu ke kampung lainnya /jogjaupdate/

KARANGANYARNEWS - Sejarah angkringan yang belakangan lebih popular disebut HIK, tak lepas dari perjuangan Mbah Karso Dikromo menaklukkan keterpurukan nasib dan kemiskinan di kampung halamannya.

Karena keberaniannya berspekulasi meninggalkan tanah kelahirannya yang tandus dan gersang inilah, pria yang semasa remajanya dipanggil Djukut berhasil mendongkrak taraf perekonomian dan kehidupan keluarganya.   

Keberhasilan Djukut berjualan makanan dan minuman, dijajakan dipikul berjalan kaki keliling dari satu kampung ke kampung lain di Kota Solo, menginspirasi sekaligus menspirit sanak saudara di Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. 

Baca Juga: Jejak Sejarah Angkringan (1), Berawal dari Keterpurakan Nasib Karso Dikromo

Tahun 1940-an warga desa kami mulai tertarik mengikuti jejak Mbah Karso Dikromo merantau ke Kota Solo,” terang Suwarna, generasi ketiga pedagang angkringan dari Desa Ngerangan, mengaku sudah 15 tahun terakir mengikuti jejak Mbah Karso Dikromo.

Bukan saja warga Desa Ngerangan, beberapa warga desa bahkan lain kecamatan, pun terinspirasi dan terspirit mengikuti jejak Mbah Karso Dikromo, tokoh legendaris yang belakangan disebut-sebut pelopor inovator pedagang angkringan.   

Kota yang dilirik, juga bukan hanya Solo tapi juga merambah ke kota lain. Salah satu diantaranya, Mbah Pairo. Pria dari Kecamatan Cawas, bersebelahan Kecamatan Bayat yang masih wilayah administratif Kabupaten Klaten. , di kemudian  inilah yang kemudian hari disebut-sebut pelopor angkringan di Jogjakarta.

Baca Juga: Desa Ngerangan, Cikal Bakal Warung HIK Nan Legendaris dan Ngangeni  

Pria yang di era 1950-an merintis jualan makanan dan minuman, dipikul dan 'mider' jalan kaki dsri ksmpung ke ksmpung di Kota Jogjaakarta ini, sampai sekarang belum diketemukan berasal dari desa mana. Beberapa sumber yang dirunut, hanya menyebutkan Mbah Pairo berasal dari Kecamatan Cawas.

Tepatnya 5 tahun setelah Indonesia Merdeka, Mbah Pairo merantau ke Jogjakarta. Sebagaimana warga desa lainnya,  Dia juga bermaksud berjuang menaklukan kemiskinan yang diderita keluarganya, akibat ketiadaan lahan subur untuk bercocoktanam di desanya. 

Di kota tempatnya mengadu nasib, Jogjakarta pria yang karena kemiskinannya tak mengenyam bangku sekolah ini, memilih menekuni profesi penjual angkringan keliling, sebagaiman jauh sebelumnya ditekuni Mbah Karso Dikromo di Kota Solo. 

Baca Juga: Kuliah Ngonthel Bayat-Jogya, Anak Desa Raih Gelar Guru Besar Teknik Mesin  

Dewa keberuntungan, memang tengah berpihak pada Mbah Pairo. Keberhasilannya merintis angkringan di Kota Gudeg, melejitkan nama dan usaha yang dirintisnya dari nol kecil, hingga  di kemudian hari dia disebut-sebut pionirnya angkringan di Jogjakarta.

Usaha angkringan pria asal Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten ini bahkan sampai sekarang tetap melegenda di Kota Budaya sekaligus Kota pelajar. Kendati sejak tahun 1969 telah diwariskan kepada Lik Man, generasi berikutnya yang tak lain adalah putranya.

Lik Man yang kini menggelar warung angkringan di utara Stasiun Tugu, mengaku beberapa kali berpindah tempat jualan.  Seiring bergulirnya waktu, bisnis angkringan ini pun kian menjamur di setiap sudut Kota Jogjakarta.

Baca Juga: Jejak Selomiyo Masih Misterius, 60 Personel SAR Dikerahkan Susuri Merapi

Namun demikian, angkringan Lik Man warisan Mbah Pairo tadi tetap melegenda dan jadi pencarian para pandemen angkringan. Baik warga dalam kota, demikian juga pendatang dari luar daerah  yang bertandang ke Kota Jojakarta. (kustawa esye-bersambung) ***

Editor: Kustawa Esye

Tags

Terkini

Terpopuler