Misteri Speaker Toa di Stabelan, Pamali Dibunyikan Saat Erupsi Merapi

- 26 Februari 2022, 10:15 WIB
Gapura masuk Dukuh Stabelan, Desa Tlogolele, Kecamatan Sela, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, warga masyarakatnya pamali bunyikan speker toa
Gapura masuk Dukuh Stabelan, Desa Tlogolele, Kecamatan Sela, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, warga masyarakatnya pamali bunyikan speker toa /Tangkapan Instagram/

KARANGANYARNEWS – Speaker toa yang belakangan hari diributkan karena suara lantangnya, justru pamali dibunyikan di Dukuh Stabelan, terutama saat Gunung Merapi erupsi.

Tak sebagaimana daerah lain, saat ada tanda-tanda datangnya musibah atau bencana, warga masyarakat bergegas memberi isarat marabahaya dengan membunyikan sesuatu yang bersuara keras dan lantang.

Semisal membunyikan kenthongan, sirine, speaker toa, terikan atau jeritan minta tolong dan lainnya. Dimaksud agar warga lainnya cepat bersiaga untuk segera menghindar, menyelamatkan nyawa dan harta bendanya.

 Baca Juga: GP Ansor Polisikan Roy Suryo atas Dugaan Pencemaran Nama Baik Yaqut

Di Dukuh Stabelan yang termasuk zona paling rawan bencana erupsi Gunung Merapi, justru sebaliknya. Tak satu warga pun berani membunyikan sesuatu, saat gunung berapi teraktif tadi erupsi.  

“Jangankan membunyikan speaker toa atau sirine, saat erupsi mencekam kami harus berkomunikasi dengan bahasa isarat,” kata Maryanto, Kepala Dukuh atau Dusun (Kadus) Stabelan, Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali.

Warga setempat menyebutnya harus ‘tapa bisu’, pamali atau ditabukan berkomunikasi dengan bahasa lisan. Dalam situasi sangat mencekam, setakut dan setegang apa pun tidak berbicara, terlebih berteriak atau menjerit.

Baca Juga: Bukit Sanjaya Selo, Paduan Pesona Etnik Berlatar Eksotiknya Merbabu Merapi

Saat warga lain di lereng Gunung Merapi membunyikan speaker toa, sirine,  kentongan dan tanda bahaya erupsi lainnya, Dukuh Stabelan yang hanya berjarak 3,5 km dari puncak Gunung Merapi, justru hening bagai tak berpenghuni.

“Seluruh warga Stabelan tetap memegang teguh adat istiadat warisan leluhur kami. Alhamdulillah sampai saat ini dusun kami tetap terlindungi dari erupsi Gunung Merapi,” ungkap Maryanto kepada awak media di rumahnya.

Dalam setiap kali terjadi bencana erupsi Gunung Merapi, lanjut kepala dukuh di perkampungan terdekat puncak gunung berapi teraktif tadi, memberi tanda dengan membuat api unggun dan menyalakan obor sepanjang 24 jam.  

Baca Juga: Gus Miftah dan Ki Warseno Buka Suara; Dalang Tak Bisa Diintervensi Penonton

Adat tradisi yang telah berlangsung sejak nenek moyang mereka ini, disebutkan untuk memberitahukan kepada Mbah Petruk, ‘cikal bakal’ atau ‘pepunden’ penunggu Gunung Merapi, jikalau ‘anak cucunya’ masih bertempat tinggal di Stabelan.

Terkait mitigasi bencana tanpa suara bising ini, juga dibenarkan Kurniawan Fajar Prasetyo, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Boyolali.

Untuk memberitahukan kepada warga masyarakat lainnya, biasanya hanya dengan bahasa isarat. Karena, dianggap pamali bersuara pemberitahuannya cukup ‘dijawil’.

Baca Juga: Puluhan Petani Merbabu-Merapi Gelar Aksi Jual Wortel Bayar Seikhlasnya, Ternyata Ini Alasannya

Disebutkan Kurniawan, warga Dusun Stabelan sejak jaman nenek moyangnya telah memiliki dan menerapkan kearifan local sebagai bahasa atau komunikasi mitigasi bahaya erupsi Merapi.

Mitigasi dengan sarana komunikasi publik layaknya masyarakat lereng Gunung Merapi di wilayah lain, sama sekali tidak diperbolehkan di Dusun Stabelan. Semisal membunyikan speaker toa, sirine, kentongan dan lainnya.

Selain itu, warga setempat juga masih meyakini setiap akan terjadi bencana erupsi Gunung Merapi, akan ada warga yang diberi ‘wangsit’ atau pertanda oleh Mbah Petruk, makhluk astral yang mereka yakini ‘danyange’ Gunung Merapi.

Baca Juga: Hitungan Primbon Tak Berjodoh; Catat, Ini Sederet Solusi Tanpa Sesaji

“Maksudnya isarat atau ‘wangsit’ Mbah Petruk itu datang melalui seseorang secara acak. Baik sesepuh atau orang yang dituakan di daerah setempat, bisa  juga melalui orang yang disabilitas intelektual,” ungkap Kurniawan.

Walaupun telah ada mitigasi yang bersifat kearifan lokal, menurutnya BPBD Boyolali tidak bisa melepaskan ilmu kebencanaan. Maka, digabungkanlah mitigasi bencana Gunung Merapi antara kearifan lokal dan hal ilmiah.

“Kami memberi gladi erupsi Gunung Merapi di Kawasan Rawan Bencana III Boyolali. Jadi mereka sudah kami latih sejak 2011. Kalau Stabelan mengungsinya ke Mertoyudan, Magelang. Itu namanya sister village,” kata dia. ***

Editor: Kustawa Esye


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah