Ngaji Jiwa Jawi; Memaknai Falsafah Filosofi Pacul

- 8 April 2022, 09:25 WIB
Kustawa Esye
Kustawa Esye /Dok Kiai Damar Sesuluh/

Senjata pengolah tanah pertanian yang sering disebut cangkul ini, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga dijadikan media pembelajaran falsafah filosofis religious, penggapai kesempurnaan hidup manusia, baik kehidupan dalam mikrokosmos maupun makrokosmos.

Pacul yang dianggap sebagian besar masyarakat sepele dan nylekethe, oleh Sang Guru Sejati di Tanah Jawa tadi lebih dimaknai sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan sendi-sendi kehidupan maupun peradaban bangsa.

Selebihnya, selain menjadi simbul perjuangan hidup, cangkul juga merupakan kunci utama pembuka pintu rejeki masyarakat agraris. Pacul, sejatinya terdiri dari tiga bagian yang tak dapat dipisahkan.

Baca Juga: Ini Amalan Ibadah Murah dan Mudah Dilakukan Menurut Gus Baha

Pertama atau yang utama disebut Pacul, bagian inti terbuat dari lempengan logam,  ada juga yang menyebut langkir atau bagian paling tajam, masyarakat Jawa menyebutnya landhep.

Unsur kedua disebut Bawak, lingkaran gelung berlubang tempat kayu pegangan atau doran disematkan. Dan ketiga disebut Doran, batang kayu yang berfungsi sebagai pegangan cangkul.

Ketiga bagian  tadi, tidak dapat berdiri sendiri. Untuk dapat difungsikan, ketiganya harus bersatu padu. Itulah sebabnya, dalam wejangan  spirit spiritual kejawen   Kanjeng Sunan Kalijaga menyebutnya Tri Tunggal,  atau satu kesatuan dari tiga unsur yang tidak dapat diceraiberaikan.

Baca Juga: Begini Pandangan Unik Gus Baha Tentang Puasa Ramadhan

Unsur pertama Pacul, dimaknai Ngipatake barang kang mbedungul arti secara harfiahnya membuang bagian yang menonjol atau yang tidak rata.

Maksudnya, untuk menggapai kesempurnaan hidup haruslah senantiasa berusaha menata dan memperbaiki kehidupannya. Diantaranya, dengan mengekang nafsu dan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak terpuji.

Halaman:

Editor: Kustawa Esye


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x