Ketupat Lebaran Syawal: Akulturasi Budaya Humanis Hindu Budha dan Islam

- 14 April 2024, 22:14 WIB
ketupat Lebaran Syawal, merupakan akulturasi budaya humanis antara agama Hindu Budha dan Islam di Jawa
ketupat Lebaran Syawal, merupakan akulturasi budaya humanis antara agama Hindu Budha dan Islam di Jawa /Freepik /

KARANGANYARNEWS - Sejarah keberadaan ketupat Lebaran Syawal atau bakda Syawal, merupakan akulturasi budaya humanis antara agama Hindu Budha dan Islam di Jawa.

sebagaimana namanya, ketupat Lebaran Syawal hingga saat ini identik dengan kuliner tradisional khas Nusantara yang tersaji setiap bakda atau Lebaran Syawal, dirayakan masyarakat Muslim Nusantara sepekan atau tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri.

Berdasar hitungan H+7 setelah Lebaran 2024 Masehi atau Sholat Idul Fitri Hari Raya Idul Fitri 1445 tahun Hijriyah ini, Lebaran Syawal jatuh pada hari Rabu tanggal 17 April 2024.

 Baca Juga: Falsafah Filosofi Reliqius Ketupat Lebaran, dalam Budaya Jawa

Ketupat, beras yang dimasak dalam selongsong daun kelapa muda atau janur ini,  telah menjadi bagian terpenting dalam pemujaan Dewi Sri atau Dewi Kesuburan sejak zaman Hindu Budha di negeri agraris Nusantara.

"Sebagaimana tersurat dalam Buku 'Makna Ketipat dalam Upacara Telung Bulan di Denpasar', Karya Ni Made Yuliani dan I Ketut Wardana Yasa (2020)," kata Ki Buyut Lawu, budayawan peraih penghargaan 'Bhakti Budaya Nusantara' tahun 2013. 

 

Akulturasi Budaya Humanis

Disebutkan, ketupat di era Hindu Budha, juga tercantum dalam Kakawin Kresnayana, Kakawin Subadra Wiwaha, dan Kidung Sri Tanjung. Dengan sebutan kupat, akupat, dan khupat-kupatan.

 Baca Juga: Grebeg Syawal Keraton Surakarta, Sejarah dan Filosofi Dibalik Kemeriahannya

 Di era keruntuhan Majapahit, semasa Kasultanan Demak Bintara terjadi desakralisasi dan demitologisasi, Dewi Sri tidak lagi dipuja sebagai Dewi Kesuburan dan Pertanian, tetapi hanya sebagai simbul kemakmuran negeri agraris yang dipresentasikan dalam bentuk ketupat.

"Sejarah Lebaran Syawalan yang identik dengan hidangan kuliner ketupat dengan lauk opor ayam dan sayur sambal goreng, telah ditradisikan sejak Abad Ke-16," terang Ki Buyut Lawu, Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh (Spirit Reliqius Cultural & Educatian) tadi.

Tepatnya di semasa penyebaranagama Islam di tanah Jawa oleh Wali Sanga, disebutkan Sunan Kalijaga memperkenalkan dua hari raya di Bulan Syawal setelah umat Islam menjalani ibadah Bulan Suci Ramadhan.

 Baca Juga: Doa Perjalanan Arus Balik Lebaran 2024: Terhindar Kemacetan, Selamat Sampai Tujuan

"Hari raya pertama disebut Idul Fitri, tanggal 1 Syawal menurut perhitungan penanggalan kalender tahun Hijriyah dan tahun, sedangkan hari raya kedua Lebaran Ketupat, tanggal 8 Syawal.

Sejak saat itulah, ketupat tak lagi sebagai sesaji teruntuk memuja Dewi  Sri yang dimitoskan sebagai Dewi Kesuburan di negeri agraris. Ketupat  tak lebih sekedar sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

“Ketupat Lebaran Syawan merupakan salah satu bukti sejarah, sejak abad ke 16  telah terjadi akulturasi budaya humanis  antara agama hindu budha dan Islam di Nusantara, tanpa ada pertentangan yang menimbulkan pertikaian,” kata Ki Buyut Lawu.

 Baca Juga: Puncak Arus Balik Lebaran 2024, KAI Sediakan KA Tambahan Yogyakarta-Gambir PP

Sumber lainnya, dalam Buku ”Bauwarna Adat Tata Cara Jawa” karya Drs R Harmanto Bratasiswara (terbitan Yayasan Suryasumirat, Jakarta 2000)juga  disebutkan, setidaknya terdapat dua makna kutupat dalam Lebaran Syawal.

Pertama, pesta Lebaran Syawal dengan menyajikan menu tradisional khas. Kutupat beserta lauk pauknya (opor ayam, sambel goreng dan  krupuk). Disajikan dalam tradisi Lebaran Syawal atau Kupatan teruntuk keluarga,  sanak saudara maupun kelompok komunitas yang menggelar silaturahmi.

Kedua, menjadi lambang (simbol) laku ibadat untuk menggambarkan empat  tuntunan syariat agama Islam. Menjalankan ibadah puasa fardlu di Bulan Suci Ramadhan, membayar zakat fitrah, melaksanakan shalat Idul Fitri, dan merayakannya  dengan saling maaf memaafkan.

 

4 Prilaku Kehidupan

Makna filosofi ketupat yang bersudut empat dalam Lebaran Syawalan, menurut Ki Buyut Lawu sebagai pangejawantahan empat prilaku peribadatan umat manusia.

 Baca Juga: Libur Lebaran 2024 di Tawangmangu? Jangan Lewaatkan 5 Cafe Kekinian, Viuw Ikonik Eksotik

Baik hubungan dengan sesama umat manusia atau habluminannas, demikian juga habluminallah atau hubungan manusia dengan tuhan Semesta Alam. 

Menyertakan kupat (anyaman terbuat dari janur) yang di dalamnya diisi beras untuk dimasak, dipahami sebagai lambang laku papat atau empat tindakan. Yakni

"Masing-masing lebaran, luberan, leburan dan laburan. Lebaran dimaknai seusai Puasa Ramadan. Luberan, berati melimpah untuk saling membagi rezeki kepada sesama dengan amal jariyah zakat fitrah.

 Baca Juga: Contoh Undangan Halal Bihalal Idul Fitri 2024, Langsung Copas!

Berikutnya, leburan, dimaknai melebur atau menghilangkan dosa yang diwujudkan lewat tindakan saling meminta dan memberi maaf. dan yang keempat laburan.

"Secara etimologi berasal dari Bahasa Jawa labur (pemutih dinding). Artinya, sebagai insan manusia harus senantiasa menjaga kejernihan secara lahiriyah maupun batiniyahnya," kata aktifis Majelis Macapatan di Lereng Gunung Lawu tadi menambahkan.***

Editor: Kustawa Esye


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah