Tak Hanya Lezat, Ada Nilai-nilai Moral yang Terkandung dalam Kue Lebaran. Apakah Itu..?

- 2 Mei 2022, 22:49 WIB
Di balik kelezatannya, kue lebaran memiliki nilai-nilai toleransi
Di balik kelezatannya, kue lebaran memiliki nilai-nilai toleransi /MielPhotos2008/Istockphoto

KARANGANYARNEWS - Ada nilai-nilai toleransi di balik beragam jenis hidangan kue kering khas lebaran.

Hal ini disampaikan oleh sejarawan kuliner dari Universitas Padjadjaran Fadly Rahman.

Dijelaskan bahwa kue-kue seperti nastar, kastengel, lidah kucing, dan putri salju mulanya dikenal pada masa kolonial melalui pertukaran hantaran dari keluarga Eropa untuk keluarga priyayi yang merayakan hari Lebaran.

Kue-kue tersebut juga menjadi kudapan yang biasa dihidangkan pada hari-hari perayaan umat Nasrani.

Baca Juga: Sudah Lebaran Hari Ini. Begini Cara Tarekat Syattariyah Menentukan 1 Syawal

"Kue-kue kering ini disajikan ketika keluarga-keluarga priyayi merayakan lebaran dan di sini juga ada hantar-menghantar ketika Lebaran. Keluarga-keluarga Eropa menghantarkan makanan seperti kue-kue kering ini untuk keluarga priyayi," kata Fadly seperti dikutip dari ANTARA, Senin (2/5/2022).

Ia mengatakan kue kering yang diadopsi dari kalangan Eropa tersebut dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk, bahan, dan rasa yang berbeda dengan aslinya.

Kastengel (kaasstengels, dalam bahasa Belanda), misalnya, memiliki bentuk yang lebih panjang dalam versi aslinya.

Baca Juga: Antisipasi Serangan Pencuri Saat Mudik. Begini Bacaan Doa dan Langkah yang Perlu Dilakukan

Selain bentuk, Fadly mengatakan kualitas keju yang digunakan pada kastengel di Belanda dan Hindia Belanda juga memiliki perbedaan.

Atau nastar, misalnya, terinspirasi dari kue pai atau tar Eropa yang biasanya diisi dengan bluberi dan apel.

Nastar berasal dari dua kata dalam bahasa Belanda yaitu "ananas" (nanas) dan "taart" (pie).

Fadly mengatakan nastar merupakan inovasi yang dibuat oleh para perempuan Belanda yang menetap di Hindia Belanda.

Baca Juga: 7 Makanan Jadul Ngangeni, Penghias Sajian Lebaran

Kala itu mereka memanfaatkan buah nanas yang hanya tumbuh di daerah tropis sebagai pengganti isian kue.

"Itulah ada proses modifikasi, artinya di tangan orang-orang di Hindia Belanda berbeda dengan apa yang dihasilkan di Belanda sana. Kalau kita perhatikan bentuk nastar dan kastengel yang ada di Belanda itu berbeda," ujarnya.

Selain keluarga Eropa, Fadly menambahkan bahwa kalangan yang mengonsumsi kue-kue kering itu mulanya hanya keluarga priyayi atau ningrat.

Sebab merekalah yang memiliki akses hubungan dengan orang-orang Eropa, hingga kemudian dibuat di rumah-rumah tangga pribumi kebanyakan.

Baca Juga: Wow..Sifat dan Karakter Ini Bikin Perempuan Dipandang Lebih Unggul dalam Beternak, Dibanding Laki-laki

"Pada masa itu, antara keluarga priyayi dan keluarga Eropa memiliki hubungan yang berkaitan dengan kepentingan politik, ekonomi atau bisnis, itu memang membuka hubungan yang terbuka dalam kaitan hantar-menghantarkan makanan," kata Fadly.

Tradisi hantaran tak hanya terjadi saat Lebaran Idul Fitri. Sebaliknya, ketika momen hari raya bagi orang-orang Eropa tiba, seperti Natal, maka keluarga pribumi juga turut menghantarkan makanan tradisional.

"Jadi tidak heran kalau pada masa kolonial orang Eropa juga mengenal makanan-makanan khas pribumi, ya, seperti tertulis dalam buku-buku masakan berbahasa Belanda. Mereka bukan hanya menikmati makanan Eropa, tapi juga apa yang dinikmati pribumi," tandas Fadly.***

Editor: Langgeng Widodo

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x