Ngaji Jiwa Jawi: Nasi Tumpeng Kemerdekaan, Ilmu Mawujud Filosofi Kehidupan

- 17 Agustus 2022, 13:52 WIB
Kustawa Esye, Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh (Spirit Reliqius, Cultural & Education)
Kustawa Esye, Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh (Spirit Reliqius, Cultural & Education) /Dok Kiai Damar Sesuluh/

Ngaji Jiwa Jawi |.| Kustawa Esye

NASI TUMPENG merupakan ‘ilmu mawujud, ajaran adiluhung nenek moyong  hakekat kehidupan yang diekspresikan melalui penyajian kuliner.

Nasi Tumpeng, kuliner asli Indonesia warisan budaya bangsa nan adiluhung, hingga  kini tetap ada dan dilestarikan generasi bangsa. Dalam acara-acara tertentu, Nasi Tumpeng beserta uba rampene juga masih tersaji.

Semisal pada peringatan ulang tahun, peresmian suatu proyek, launching badan usaha waralaba, tasyakuran maupun acara istimewa lainnya.

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi: Spiritual Reliqius Sura dalam Akulturasi Islam Kejawen

Termasuk diantaranya, dalam setiap memperingati Hari Kemerdekaan atawa hari ulang tahun Republik Indonesia (HUT RI). Selain ritual memotong tumpeng, lomba Nasi Tumpeng juga menjadi tradisi  dalam setiap menyemarakkan ambal warsa kamardikan.

Baik dalam suatu komunitas sosial, institusi suwasta demikian juga dalam semua tingkatan struktural lembaga pemerintahan.

Sangat disayangkan, semakin banyaknya generasi bangsa yang tidak memahami tata cara penyajian, manfaat kegunaan dan atau makna filosofi Nasi Tumpeng, menjadikan kuliner khas yang berasal dari Jawa ini  seakan tidak lebih hanya  sebagai ‘pelengkap’ dalam suatu rangkaian acara.

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi: Dan Setiap Kita Adalah Ibrahim

Dalam filosofi filsafah jiwa jawaning wong Jawi, Nasi Tumpeng disebut-sebut sebagai ajaran hakekat kehidupan dari nenek moyang bangsa,  diekspresikan melalui penyajian kuliner.

Ajaran  adi luhung ini tidak disampaikan melalui bahasa lisan maupun tulisan, lebih merupakan ilmu kasunyatan  atau ‘bahasa rupa’ yang padat dan sarat makna falsafah filosofi kehidupan.

Baik pernak-pernik puluhan jenis bahan bakunya, ubarampe peralatan memasaknya, ketentuan penyajiannya hingga ritual pemotongan dan pembagiannya.

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Nama Japamantra dan Doa

Itulah sebabnya, jikalau salah satu bahan baku Nasi Tumpeng tidak terpenuhi, demikian juga urut-urutan rangkaian dan tahapannya terlewatkan, dianggap menghilangkan mata rantai wejangan filosofi maupun hakikat kehidupan.

Pralambang yang diajarkan melalui peralatan memasak, contohnya. Paling tidak, terdapat enam unsur utama dalam jagad makrokosmos maupun mikrokosmos.

Api melambangkan cahaya matahari, pawon atau tungku (dari batu bata merah yang berbahan tanah)  simbul bumi, dan dandang disebutkan sebagai perlambang gunung.

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Mendedah Revolusi Mental Ala Serat Kalatida

Sedangkan air yang juga sebagai unsur terpenting memasak Nasi Tumpeng,  sebagai simbul sumber kehidupan, kukusan  (kerucut) kawah gunung berapi, kayu bakar unsur tumbuhan atau hutan, dan beras yang dimasak sebagai simbul kemakmuran.

Bahan baku Nasi Tumpeng yang berwarna putih putih bersih, sebagai perlambang segala sesuatu yang kita makan haruslah bersumber dari yang bersih atau dalam bahasa agamanya halal.

Menurut pranatan tradisi jiwa jawining wong Jawi, Nasi Tumpeng juga dilengkapi beragam  lauk pauk. Diantaranya berupa ingkung (ayam jago dimasak utuh), telur rebus, ikan air tawar, ikan asin dan aneka sayuran dibumbui urab-uraban lebih populer disebut gudangan.

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Eling Pepeling Filosofi Caping

Warisan budaya adi luhung yang sarat filosofi falsafah kehidupan ini, dihidangkan dalam nyiru atau tampah berbentuk bundar terbuat dari anyaman bambu.

Pinggirannya  dihias daun pisang manggala berbentuk segi tiga, dirangkai dengan lidi kawung sebagai perlambang sinar matahari. Manggala berarti penyampai hukum atau yang menguasai aturan, sedangkan kawung dari kata Sang Suwung yang berarti Sang Maha Kuasa.

Nasi Tumpeng berbentuk kerucut, menyerupai kemuncak gunung atau top of mountain, sebagai simbul prosesi ritual penghambaan manusia kepada Sang Khaliq, teruntuk menggapai kemuliaan dan kesempurnaan hidup.

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Memaknai Falsafah Filosofi Pacul

Walau wujudnya kerucut, sesungguhnya penyajian Nasi Tumpeng terbagi menjadi tiga tangga atau tingkatan yang mencerminkan tataran dimensi kehidupan manusia.

Paling bawah yang dihiasi beragam sayuran dengan bumbu urab-uraban dan anekarupa lauk pauk lainnya, sebagai lambang kemajemukan alam kehidupan manusia, dalam jagad cilik (mikrokosmos) maupun jagad gedhe (makrokosmos).

Sedangkan tangga kedua, pada bagian tengah Nasi Tumpeng  merupakan prasarat menenging piker manungsa lan meneping dzikir mring Gusti Allah  menuju kesempurnaan hidup maupun kehidupan. 

Baca Juga: Ngaji Jiwa Jawi; Memaknai Falsafah Filosofi Secangkir Kopi

Sedangkan tangga ketiga,  pun­caknya kerucut Nasi Tumpeng sebagai isarat penggapaian menuju kebahagiaan yang hakiki, dalam berbagai wejangan makrifat kejawen sering disebut juga tangga paling tinggi untuk menggapai ngilmu sangkan paraning dumadi.

Karena itulah, pada pucuk atau puncak Nasi Tumpeng ditancapkan cabe merah tegak lurus ke atas, tak lain sebagai pepeling agar manusia senantiasa ingat mring Allah Kang Maha Tunggal***  

Kustawa Esye |.| Pimpinan Redaksi KaranganyarNews.com dan Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh (Spirit Reliqius, Cultural & Education)

Editor: Kustawa Esye


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x