”Roda putar yang mereka gunakan tidak datar (horisontal), melainkan dimiringkan beberapa derajat ke depan, hingga teknik pembuatannya disebut teknik putar miring,” kata Ketua Desa Wisata Melikan, Sumilih kepada awak media.
Penggunaan dan penerapan teknik putar miring ini, secara historis menurutnya karena dulu pengrajinnya mayoritas perempuan yang mengenakan pakaian tradisional adat Jawa, berkebaya dan kain jarik.
Baca Juga: Cak Nun Nyaris Tewas; Kena Santet, Kronologisnya Menyeramkan
Untuk menjaga etika sopan santun dalam budaya Jawa, perempuan tabu duduk dengan kaki dan paha terbuka. Kaum Hawa, di mana pun berada termasuk saat bekerja, duduknya harus menyerong (miring) dengan kaki dan pahan dirapatkan.
Ditambah lagi, secara ergonomis teknik putaran miring juga memberikan kemudahan kaum perempuan yang memakai kain jarik panjang, untuk bekerja agar tetap tidak menekuk kedua kakinya.
Karena keunikan proses produksinya ini juga, gerabah Bayat menarik dan menggaet perhatian kusus dan serius Guru Besar Fakultas Seni Kyoto Seika, University di Jepang untuk mempelajari sekaligus melakukan penelitian ilmiah gerabah Bayat.
Professor yang bernama lengkap Chitaru Kawasaki tadi, tahun 1992 melakukan penelitian akademis baik terkait falsafah filosofi, seni budaya maupun teknik produksi putar miring gerabah di Desa Pagerjurang maupun Desa Melikan.
Baca Juga: Proyek Jalan Tol Solo-Jogja; Bupati Klaten Tagih Janji Ganti Untung
Setelah penelitian ilmiahnya selesai, Guru Besar Fakultas Seni Kyoto Seika University Jepang ini masih memberikan perhatian lebih seriuas lagi. Menurut Sumilih, professor Jepang tadi juga mendirikan laboratorium gerabah di Kabupaten Klaten.