Suwono, salah satu abdi dalem Keraton Surakarta dari Kabupaten Pemalang menjelaskan, kehadirannya dalam acara tradisi grebeg Sywal ini teruntuk memenuhi undangan atau ngestoaken Dhawuh Raja Keraton Surakarta, S.I.S.K.S. Pakoe Buwono (PB) XIII.
”Tradisi ini sebagai bagian dari budaya kita yang adiluhung. Harus kita rawat dan lestarikan,” kata Suwono, abdi dalem yang mendapat gelar dari Keraton Surakarta Kanjeng Arya Tumenggung (KRT) Dharmo Nagoro tersebut.
Sejarah dan Filosofi Grebeg Syawal Keraton Surakarta
Sumber lainnya yang dilansir KaranganyarNews.com menyebutkan, grebeg Syawal Keraton Surakarta merupakan hajatan syukuran untuk mengakhiri Bulan Suci Ramadhan.
Tradisi yang kemudian dijadikan agenda wisata budaya di Kota Solo ini, digelar setiap awal Syawal, bulan kesepuluh dalam penanggalan tahun hijriyah dan penanggalan tahun Jawa.
Grebeg Syawal diadakan Keraton Surakarta setiap tahun, disimbolkan dengan filosofi dua gunungan yang diperebutkan masyarakat di akhir upacara tradisi di Keraton Surakarta ini.
Baca Juga: 6 Cafe Terfavorit di Selo Boyolali: Viuw Gunung Merapi - Merbabu, Rekomended Libur Tahun Baru 2024
Gunungan pertama yang berbentuk runcing, menyerupai tumpeng berukuran besar. Sebagai simbul filosofi yoni, dinamakan gunungan Jaler atau laki-laki, tersusun atau terbuat dari aneka hasil bumi.
Disebutkan dalam portal kebudayaan.pdkjateng.go.id, diantaranya kacang panjang, wortel, cabe merah besar, tebu, telor asin, an klenyem. Bagian dasar gunungan jaler berisi tumpeng nasi putih beserta lauk-pauknya.
Gunungan kedua berbentuk tumpul menyerupai kubah, melambangkan filosofi lingga yang disebut gunungan Estri (perempuan). Berupa rangkaian rengginang mentah atau criping dari ketan, ditusuk bilah bambu. Bagian bawah gunungan estri, sama dengan gunungan jaler, nasi beserta lauk pauknya.