Mereka bergegas naik panggung, saling dorong dan berebuti gunungan terangkai dari ketupat dan aneka sayuran. Diantaranya wortel, terong, cabai dan lainnya.
Sebagian warga yang berhasil naik panggung, melempar-lemparkan ketuapat dan aneka sayuran tadi kepada pengunjung yang berada di bawah panggung.
Tak lebih 10 menit, 25 gunungan ketupat tadi habis diperebutkan pengunjung tradisi Syawalan Bukit Sidoguro yang berdatangan dari berbagai daerah.
Baca Juga: Falsafah Filosofi Reliqius Ketupat Lebaran, dalam Budaya Jawa
Kepala Dinas Kebudayaan Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar) Klaten, Sri Nugroho mengatakan, tradisi Syawalan di Bukit Sidoguro digelar untuk melestarikan tradisi Jawa sebagai penghormatan terhadap leluhur.
Warisan Budaya
Dia berharap kegiatan tersebut menjadi sarana silaturahmi antarmasyarakat untuk saling memaafkan. Diharapkan juga, tradisi Syawalan ini dapat menggerakkan sektor pariwisata terutama di Bukit Sidoguro.
“Kegiatan ini, diikuti serangkaian acara seperti kirab 25 gunungan ketupat. Menurut orang Jawa kupat merupakan akronim dari ngaku lepat, juga sebagai rasa syukur kepada Tuhan,” kata dia sebagaimana dilansir dari klatenkab.go.id.
Dijelaskan, tradisi Syawalan sudah dimulai sejak abad ke-15 Masehi pada masa Raden Patah di Demak. Pada masa Walisanga, ketupat digunakan sebagai media dakwah yang dijadikan simbol.
Baca Juga: Grebeg Syawal Keraton Surakarta, Sejarah dan Filosofi Dibalik Kemeriahannya