Di era keruntuhan Majapahit, semasa Kasultanan Demak Bintara terjadi desakralisasi dan demitologisasi, Dewi Sri tidak lagi dipuja sebagai Dewi Kesuburan dan Pertanian, tetapi hanya sebagai simbul kemakmuran negeri agraris yang dipresentasikan dalam bentuk ketupat.
"Sejarah Lebaran Syawalan yang identik dengan hidangan kuliner ketupat dengan lauk opor ayam dan sayur sambal goreng, telah ditradisikan sejak Abad Ke-16," terang Ki Buyut Lawu, Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh (Spirit Reliqius Cultural & Educatian) tadi.
Tepatnya di semasa penyebaranagama Islam di tanah Jawa oleh Wali Sanga, disebutkan Sunan Kalijaga memperkenalkan dua hari raya di Bulan Syawal setelah umat Islam menjalani ibadah Bulan Suci Ramadhan.
Baca Juga: Doa Perjalanan Arus Balik Lebaran 2024: Terhindar Kemacetan, Selamat Sampai Tujuan
"Hari raya pertama disebut Idul Fitri, tanggal 1 Syawal menurut perhitungan penanggalan kalender tahun Hijriyah dan tahun, sedangkan hari raya kedua Lebaran Ketupat, tanggal 8 Syawal.
Sejak saat itulah, ketupat tak lagi sebagai sesaji teruntuk memuja Dewi Sri yang dimitoskan sebagai Dewi Kesuburan di negeri agraris. Ketupat tak lebih sekedar sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Ketupat Lebaran Syawan merupakan salah satu bukti sejarah, sejak abad ke 16 telah terjadi akulturasi budaya humanis antara agama hindu budha dan Islam di Nusantara, tanpa ada pertentangan yang menimbulkan pertikaian,” kata Ki Buyut Lawu.
Baca Juga: Puncak Arus Balik Lebaran 2024, KAI Sediakan KA Tambahan Yogyakarta-Gambir PP
Sumber lainnya, dalam Buku ”Bauwarna Adat Tata Cara Jawa” karya Drs R Harmanto Bratasiswara (terbitan Yayasan Suryasumirat, Jakarta 2000)juga disebutkan, setidaknya terdapat dua makna kutupat dalam Lebaran Syawal.
Pertama, pesta Lebaran Syawal dengan menyajikan menu tradisional khas. Kutupat beserta lauk pauknya (opor ayam, sambel goreng dan krupuk). Disajikan dalam tradisi Lebaran Syawal atau Kupatan teruntuk keluarga, sanak saudara maupun kelompok komunitas yang menggelar silaturahmi.