Ngaji Jiwa Jawi; Memaknai Falsafah Filosofi Pacul

8 April 2022, 09:25 WIB
Kustawa Esye /Dok Kiai Damar Sesuluh/

Oleh |.| Kustawa Esye

‘NGELMU iku lelaku’. Demikian wejangan Kanjeng Sunan Kalijaga kepada Ki Ageng Selo, dalam memaknai falsafah filosofi Pacul. Menuntut ilmu, tak cukup berbekal fasih membaca wacana yang tersurat dan memaknai gatra secara harfiah.

Untuk memetik jatining ngilmu, harus juga lantip memaknai segala sesuatu yang tersirat. Dalam bahasa agama disebutkan ayat qauliyah, berupa ayat-ayat atau firman Allah yang tersurat dalam kitab-Nya, Al-quran.

Selain itu, juga ayat Kauniah,  ayat-ayat yang tersirat dalam seluruh ciptaan Allah. Baik alam semesta beserta keseluruhan isinya, maupun gejolak dan gejala alam semesta.

Baca Juga: Wajib Tahu, Primbon Sederet Pasangan Weton Paling Tak Berjodoh

Kepada cantrik atau santri kalong-nya, Ki Ageng Selo yang konon mampu menangkap petir, Kanjeng Sunan Kalijaga menyebutkan; Agar lantip membaca thek kliwer  dan obah mosiking jagad, baik jagad cilik (mikrokosmos) maupun jagad gedhe (makrokosmos), membutuhkan tiga bekal utama.

 “Pertama, kecerdasan pikir. Kedua, kerendahan serta kearifan mata batin. Dan ketiga, kejernihan maupun kekhusukan dzikir”,  jelas penebar agama Islam dengan pendekatan budaya dan kearifan lokal kejawen tadi.

Tiga  prinsip kehidupan yang bermura pada piwulang  spirit spiritual religius itulah yang mendasarinya memberikan nama dan memaknai segala sesuatu. Termasuk diantaranya Pacul.

Baca Juga: Hitungan Primbon Tak Berjodoh; Catat, Ini Sederet Solusi Tanpa Sesaji

Senjata pengolah tanah pertanian yang sering disebut cangkul ini, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga dijadikan media pembelajaran falsafah filosofis religious, penggapai kesempurnaan hidup manusia, baik kehidupan dalam mikrokosmos maupun makrokosmos.

Pacul yang dianggap sebagian besar masyarakat sepele dan nylekethe, oleh Sang Guru Sejati di Tanah Jawa tadi lebih dimaknai sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan sendi-sendi kehidupan maupun peradaban bangsa.

Selebihnya, selain menjadi simbul perjuangan hidup, cangkul juga merupakan kunci utama pembuka pintu rejeki masyarakat agraris. Pacul, sejatinya terdiri dari tiga bagian yang tak dapat dipisahkan.

Baca Juga: Ini Amalan Ibadah Murah dan Mudah Dilakukan Menurut Gus Baha

Pertama atau yang utama disebut Pacul, bagian inti terbuat dari lempengan logam,  ada juga yang menyebut langkir atau bagian paling tajam, masyarakat Jawa menyebutnya landhep.

Unsur kedua disebut Bawak, lingkaran gelung berlubang tempat kayu pegangan atau doran disematkan. Dan ketiga disebut Doran, batang kayu yang berfungsi sebagai pegangan cangkul.

Ketiga bagian  tadi, tidak dapat berdiri sendiri. Untuk dapat difungsikan, ketiganya harus bersatu padu. Itulah sebabnya, dalam wejangan  spirit spiritual kejawen   Kanjeng Sunan Kalijaga menyebutnya Tri Tunggal,  atau satu kesatuan dari tiga unsur yang tidak dapat diceraiberaikan.

Baca Juga: Begini Pandangan Unik Gus Baha Tentang Puasa Ramadhan

Unsur pertama Pacul, dimaknai Ngipatake barang kang mbedungul arti secara harfiahnya membuang bagian yang menonjol atau yang tidak rata.

Maksudnya, untuk menggapai kesempurnaan hidup haruslah senantiasa berusaha menata dan memperbaiki kehidupannya. Diantaranya, dengan mengekang nafsu dan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak terpuji.

Baik berlebihannya ego, tingginya amarah, keangkaramurkaan dan kesewenang-wenangan. Untuk dapat menggapainya, dibutuhkan kekuatan iman dan lantiping pikir.

Baca Juga: Ngupil Siang Hari di Bulan Ramadhan, Batalkah Puasanya?

Unsur kedua Bawak, diartikan Obahing awak atau olah gerak tubuh. Maksudnya, agar kehidupan ini lebih hidup,  manusia berkuwajiban berikhtiar hingga batas kemampuannya.

Baik untuk menggapai cita-cita kehidupannya, demikian juga dalam  meraih pemenuhan kebutuhan hidup (lahiriyah maupun batiniah) keluarganya.

Unsur ketiga Doran, Donga mring Pengeran  ada juga yang memaknai Aja Adoh Mring Pengeran.  Dalam spirit spiritual kejawen, kata Pangeran sama halnya dengan Gusti Kang Dingengeri atau  Allah tempatnya mengabdi dan berbakti.

Baca Juga: Potong Rambut Kemaluan di Bulan Ramadhan, Batalkah Puasanya?

Ojo adoh marang pangeran, berarti ‘Jangan menjauhkan diri dari Gusti Allah’.  Maksudnya, manusia berkuwajiban berikhtiar secara spiritual, dengan memanjatkan doa secara khusuk kepada Gusti Allah Kang Maha Welas lan Maha Asih, bukan kepada yang lain. *** 

Kustawa Esye |.| Redaktur Pikiran Rakyat Media Network (PRMN) dan Budayawan, Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh (Spirit Reliqious, Cultural & Education)

Editor: Kustawa Esye

Tags

Terkini

Terpopuler