Aneh, Warga Sekitar Telaga Jonge Gunung Kidul Tidak Berani Saling Besanan. Ada Apa..?

- 22 Maret 2022, 21:24 WIB
Telaga Jonge di Gunung Kidul menyimpan misteri terkait larangan menikah antar warga yang tinggal di sekitarnya
Telaga Jonge di Gunung Kidul menyimpan misteri terkait larangan menikah antar warga yang tinggal di sekitarnya /Klasik Herlambang/Karanganyar News


KARANGANYARNEWS - Peristiwa mengerikan yang mengawali terbentuknya Telaga Jonge, membuat warga di sekitar telaga tidak berani untuk menjalin hubungan pernikahan di antara mereka.

Telaga Jonge sendiri berada di Dusun Kwangen, Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogjakarta dan menjadi salah satu tempat wisata favorit di Gunung Kidul. Sebab telaga ini terbilang salah satu fenomena alam unik yang ada di wilayah ini.

Ya, meski berada di kawasan pegunungan kapur yang panas, air telaga ini nyaris tidak pernah surut. Sehingga bisa menopang kebutuhan warga sekitar, baik untuk pertanian ataupun yang lain.

Dan bagi warga di sekitarnya, keberadaan telaga ini memang begitu diistimewakan.

Baca Juga: Shot Sage Blue Marilyn Diperkirakan Laku Rp 2,8 Triliun. Berikut Deretan Karya Seni dengan Harga Termahal

Sehingga tiap setahun sekali pasti akan diadakan acara bersih sendang yang di dalamnya diisi dengan berbagai pertunjukan kesenian, serta selamatan besar-besaran yang diikuti seluruh warga yang berada di sekitar telaga.

Kearifan lokal yang masih terpelihara ini pula yang diyakini mampu menjaga kelestarian Telaga Jonge, sehingga tidak pernah mengalami masalah dalam persediaan air, meski musim kemarau panjang.

Bagi warga sekitar, hal itu tentu tak lepas dari legenda sosok Ki Ageng Jonge atau juga disebut Ki Ageng Sidik Wacana atau Ki Soponyono, yang diceritakan sebagai salah seorang pengikut Brawijaya V dan memilih menetap di Gunung Kidul.

Sama seperti halnya dengan Ki Ageng Giring yang ikut membidani berdirinya kerajaan Mataram, Ki Ageng Jonge juga seorang ahli nujum yang memiliki kemampuan dalam melihat masa depan. Karena itulah, dia begitu dihormati dan disegani para pengikutnya.

Baca Juga: Membanggakan, Film 'Yuni' Tampil di Puncak International Film Festival of Ottawa (IFFO) 2022

Dalam pelariannya dari Majapahit, Ki Ageng Jonge memang memiliki banyak pengikut, yang selanjutnya tinggal saling berdekatan. Dan setelah Ki Ageng Jonge meninggal, mereka tetap setia tinggal di sana.

Ancaman Musibah

Namun kesetiaan dari para pengikut Ki Ageng Jonge inilah yang kemudian memunculkan masalah, yang berhubungan dengan awal kemunculan Telaga Jonge.

Sebab semasa hidupnya, Ki Ageng Jonge menikah dengan seorang wanita dari Desa Menthel yang bersebelahan dengan Kwangen.

Karena itu, saat meninggalnya, para pengikut Ki Ageng Jonge masing-masing berusaha untuk memakamkan jasad sang pemimpin di desa masing-masing. Hingga akhirnya sempat terjadi ketegangan.

Tapi karena sebelum meninggal, Ki Ageng Jonge telah berpesan agar dimakamkan di Kwangen, akhirnya hal itu dipatuhi.

Hal ini membuat pengikutnya yang di Desa Menthel merasa tidak puas. Apalagi sebelumnya mereka telah menyiapkan lubang kubur bagi sang guru.

Ketegangan yang terus terjadi ini tiba-tiba memunculkan perubahan cuaca yang sangat drastis. Di mana yang saat itu cerah, tiba-tiba berubah menjadi mendung tebal hingga akhirnya turun hujan disertai badai.

Baca Juga: Tak Hanya saat Imlek, Kota Solo Juga akan Berhiaskan Lampion saat Ramadhan

Dan sebuah peristiwa aneh terjadi bersamaan dengan turunnya hujan badai. Tanah di mana makam Ki Ageng Jonge berada tiba-tiba amblas ke bawah dan membentuk sebuah kubangan besar, hingga kemudian terisi air hingga sekarang.

Kubangan yang kemudian menjadi telaga dan diberi nama telaga Jonge ini lantas memunculkan sebuah keyakinan baru di masyarakat sekitarnya.

Di mana kemudian memunculkan sebuah larangan tidak tertulis, namun sampai sekarang tetap dipatuhi oleh warga setempat. Yaitu warga Desa Kwangen dan Menthel dilarang saling menikah.

Sebab bila sampai menikah dan kemudian muncul konflik, bukan tidak mungkin akan memicu munculnya bencana seperti yang terjadi pada makam Ki Ageng Jonge yang menjadi telaga.

“Meski belum pernah ada yang membuktikan, tapi warga sudah terlanjur percaya. Sehingga dari dulu sampai sekarang memang belum ada warga Kwangen dan Mentel yang besanan. Tapi kalau hubungan antar warga, tetap baik-baik saja seperti dengan warga lain,” jelas Ridwan, salah satu tokoh masyarakat Kwangen yang dipercaya mengurusi pendopo petilasan Ki Ageng Jonge, yang berada di tepi telaga pada suatu kesempatan.

Baca Juga: Mataram Undercover. Skandal Seks Panembahan Senopati di Awal Berdirinya Mataram

Dan terkait larangan menikah, juga dibenarkan oleh Naning, seorang pemilik warung yang berada di sekitar Telaga Jonge.

Menurutnya, meski tidak pernah ada yang secara langsung meyampaikan larangan, namun warga seperti dengan sendirinya mematuhi larangan untuk tidak saling menikah itu.

“Saya juga tidak tahu kenapa, tapi sampai saat ini memang belum ada warga Mentel dan Kwangen yang saling berbesanan. Umumnya mereka akan menikah dengan warga dari desa lain. Dan menariknya kalaupun misalnya awalnya berpacaran, pada akhirnya akan putus dan masing-masing menikah dnegan orang lain,” jelas Naning.

Baca Juga: Bisikan Gaib Jadi Alasan Ibu di Brebes Gorok Ketiga Anaknya

Bangunan pendopo di tepi telaga Jonge yang dirawat Ridwan, adalah salah satu bangunan penting di wilayah Desa Kwangen.

Sebab di pendopo inilah serangkaian acara ritual termasuk bersih telaga yang digelar setahun sekali diadakan.

Dan warga meyakini bahwa pada saat-saat tertentu Ki Ageng Jonge ada di sana. Sehingga kemudian warga yang kebanyakan adalah anak turun dari para pengikut Ki Ageng Jonge datang untuk memberikan persembahan.

Selain diyakini sebagai bekas tempat tinggal Ki Ageng Jonge, di bangunan pendopo ini terdapat sebuah benda yang diyakini sebagai bukti sejarah sosok sang tokoh.

Di mana beberapa puluh tahun lalu saat dilakukan upacara bersih telaga, warga menemukan tumpukan kayu yang membentuk seperti struktur sebuah bangunan.

Baca Juga: 69 Kali Gempa Guguran di Gunung Merapi

Yang kemudian diyakini bahwa itu adalah bekas bangunan cungkup Ki Ageng Jonge yang tenggelam di tengah telaga.

Salah satu potongan kayu tersebut lantas disimpan di pendopo, sedangkan sebagian yang lain dikembalikan ke tempat semula di tengah telaga.

Dan oleh warga, potongan kayu itu kemudian dikeramatkan. Sehingga pada saat-saat tertentu ada yang datang untuk menaburkan bunga di kayu tersebut.

“Saat itu warga bersama-sama membersihkan telaga dengan menggali dasarnya, untuk persiapan acara bersih telaga. Tapi tiba-tiba di tengah telaga ditemukan bekas bangunan cungkup makam Ki Ageng Jonge. Sehingga sebagian kayu itu kemudian diletakkan di pendopo. Dan karena diyakini sebagai bagian dari makam, maka kayu tersebut selanjutnya dijadikan symbol dari makam Ki Ageng Jonge. Sehingga menjadi jujugan mereka yang ingin berziarah,” ungkap Ridwan.***

Editor: Langgeng Widodo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x