Grebeg Syawal Keraton Surakarta, Sejarah dan Filosofi Dibalik Kemeriahannya

12 April 2024, 07:05 WIB
Grebeg Syawal Keraton Surakarta, atraksi budaya yang ikonik dan menarik wisatawan. Begini sejarah dan filosofi dibalik kemeriahannya /Antara Foto/

KARANGANYARNEWS - Tradisi grebeg Syawal selain sebagai atraksi budaya yang ikonik dan menarik wisatawan,  juga mengandung nilai-nilai tatanan serta tuntunan kehidupan, Kamis 11 April 2024 Keraton Surakarta menggelar tradisi ini. Berikut sejarah dan filosofi dibalik kemeriahannya. 

Ada yang berbeda dari gelaran upacara tradisi grebeg Syawal Keraton Kasunanan  Surakarta (Solo) tahun sebelumnya. Grebeg Syawal tahun ini, Rombongan abdi dalem dan pengageng Keraton Surakarta tidak melalui Bangsal Pagelaran.

Dikarenakan masih ada proyek revitalisasi Alun-alun Utara, terpaksa rute kirab tradisi grebeg Syawal tahun ini melintas memutari sisi timur jalan Alun-alun Utara.  (sisi timur pagar alun-alun).

 Baca Juga: Jam Buka Candi Borobudur Ditambah Selama Lebaran 2024, Ini Harga Tiketnya

Para abdi dalem, prajurit Tamtama, Prawiro Anom, Sorogenenen, Ndorowati, Jayasura, Baki, dan Panyutra Keraton Surakarta bersama-sama mengikuti Hajad Dalem Garebeg Syawal tahun Jimawal 1957, bertepatan hari Kamis 11 April 2024.

Rombongan kirab ini mengarak dua gunungan, makanan dan hasil pertanian menuju Masjid Agung Keraton Surakarta,  berada di sebelah barat Alun-alun utara.

 

Ramai dan Meriah Diperebutkan

Kedua gunungan tadi tersusun dari makanan, buah-buahan ada juga  umbi-umbian dan sayur-sayuran segar hasil pertanian. Bermakna filoofi sebagai ungkapan rasa syukur Raja yang bertahta bersama seluruh keluarga besar Keraton Surakarta.

 Baca Juga: Libur Lebaran 2024 di Tawangmangu? Jangan Lewaatkan 5 Cafe Kekinian, Viuw Ikonik Eksotik

Setibanya di Masjid Agung, para peserta kirab, abdi dalem dan masyarakat berdoa kepada Allah memohon keberkahan dari acara garebeg Syawal Keraton Surakarta ini.

Prosesi doa di Masjid Agung dipimpin Pengulu Tafsir Anom Keraton Surakarta, Muhtarom atas perintah dari Raja Keraton Kasunanan Hadiningrat, S.I.S.K.S. PB XIII melalui Pangageng Sasana Wilapa.

Sepasang gunungan yang dikirab dalam prosesi tradisi grebeg Syawal Keraton Surakarta, masing-masing gunungan estri (perempuan) dan satunya lagi gunungan jaler (laki-laki).

 Baca Juga: Mudik Lebaran di Solo, Jangan Lupa Nikmati Jajanan Tradisional Sate Kere, Rasanya Endes Banget

Seusai berdoa, satu diantara dua gunungan diperebutkan ribuan masyarakat yang datang dari berbagai daerah di halaman Masjid Agung. Ramai dan meriah, tak lebih 10 menit,  satu gunungan ludes diperebutkan warga.

 

Budaya Adiluhung

Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta, Kanjeng Pangeran (KP) Dani Nur Adiningrat mengatakan, grebeg Syawal Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, upacara tradisi yang rutin digelar setiap awal bulan Syawal, seusai umat Islam menjalani puasa di Bulan Suci Ramadhan.

Selain sbagai simbol perayaan Hari Raya Idul Fitri, Keraton Surakarta bersama masyarakat, juga merefleksikan filosofi rasa syukur atas keberkahan Allah selama Bulan Suci Ramadan," kata KP. Dani Nur Adiningrat .

 Baca Juga: 8 Restoran di Tawangmangu: Rekomended Libur Natal dan Taru 2023, Menu Khas Viuw Eksotiknya Gunung Lawu

Sementara satu gunungan lagi dan belasan makanan tradisional yang dipanggul dalam kotak, menurut dia dibagikan kepada masyarakat di Bangsal Kamandungan Keraton Surakarta Hidiningrat.

Suwono, salah satu abdi dalem Keraton Surakarta  dari Kabupaten Pemalang menjelaskan, kehadirannya dalam acara tradisi grebeg Sywal ini teruntuk memenuhi undangan atau ngestoaken Dhawuh Raja Keraton Surakarta, S.I.S.K.S. Pakoe Buwono (PB)  XIII.

”Tradisi ini sebagai bagian dari budaya kita yang adiluhung. Harus kita rawat dan lestarikan,” kata Suwono, abdi dalem yang mendapat gelar dari Keraton Surakarta Kanjeng Arya Tumenggung (KRT) Dharmo Nagoro tersebut.

 

Sejarah dan Filosofi Grebeg Syawal Keraton Surakarta

Sumber lainnya yang dilansir KaranganyarNews.com menyebutkan, grebeg Syawal Keraton Surakarta merupakan hajatan syukuran untuk mengakhiri Bulan Suci Ramadhan.

Tradisi yang kemudian dijadikan agenda wisata budaya di Kota Solo ini, digelar setiap awal Syawal, bulan kesepuluh dalam penanggalan tahun hijriyah dan penanggalan tahun Jawa.

Grebeg Syawal diadakan Keraton Surakarta setiap tahun, disimbolkan dengan filosofi dua gunungan yang diperebutkan masyarakat di akhir upacara tradisi di Keraton Surakarta ini.

 Baca Juga: 6 Cafe Terfavorit di Selo Boyolali: Viuw Gunung Merapi - Merbabu, Rekomended Libur Tahun Baru 2024

Gunungan pertama yang berbentuk runcing, menyerupai tumpeng berukuran besar. Sebagai simbul filosofi yoni, dinamakan gunungan Jaler atau laki-laki, tersusun atau terbuat dari aneka hasil bumi.

Disebutkan dalam portal kebudayaan.pdkjateng.go.id, diantaranya kacang panjang, wortel, cabe merah besar, tebu, telor asin, an klenyem. Bagian dasar gunungan jaler berisi tumpeng nasi putih beserta lauk-pauknya.

Gunungan kedua berbentuk tumpul menyerupai kubah, melambangkan filosofi lingga yang disebut gunungan Estri (perempuan). Berupa rangkaian rengginang mentah atau criping dari ketan, ditusuk bilah bambu. Bagian bawah gunungan estri, sama dengan gunungan jaler, nasi beserta lauk pauknya.

 Baca Juga: 4 Hotel Viuw Gunung Lawu dilengkapi Kolam Renang, Rekomended Teruntuk Libur Nataru di Tawangmangu

Kedua gunungan digunakan sebagai simbol rasa syukur Raja Keraton Surakarta bersama para abdi dalem Keraton dan  kawula (masyarakat) yang telah behasil menyelesaikan ibadah puasa selama Bulan Suci Ramadhan.

Sejarahnya, grebeg Syawalan Keraton Surakarta ini merupakan budaya warisan turun temurun dari Sultan Agung, pendiri dinasti Kerajaan Mataram Islam yang terus dan tetap dilestarikan hingga sekarang.***

Editor: Kustawa Esye

Tags

Terkini

Terpopuler