Misteri Ritual Mondosio di Lereng Gunung Lawu. Modal Air Tape Ketan dan Ayam, Bisa Datangkan Kekayaan

28 Juni 2022, 21:32 WIB
Warga berebut ayam di puncak ritual Mondosio /Klasik Herlambang/Karanganyar News

KARANGANYARNEWS - Bersamaan dengan hari Selasa Kliwon 28 Juni 2022 wuku Mondosio, warga Dusun Pancot, Desa Kalisoro, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah menggelar ritual Mondosio.

Ritual khas masyarakat lereng Gunung Lawu ini bertujuan untuk menghapus kesialan yang selama ini melekat, sehingga ke depan kehidupan senantiasa berlimpah berkah.

Suasana meriahpun terlihat di kawasan Pasar Dusun Pancot yang menjadi titik pusat pelaksanaan ritual Mondosio.

Alunan gending ladrang wilujeng terdengar menggema, dan saling bersambung dengan gending ladrang mugi rahayu dan lancaran manyar sewu.

Baca Juga: Misteri di Balik Ritual Tali Pocong. Ternyata Begini Sejarah dan Penggunaannya

Gending khas masyarakat lereng Gunung Lawu ini, sengaja dimainkan untuk menyambut kedatangan para warga yang berkumpul di komplek pasar Dusun Pancot.

Dengan menggunakan seperangkat gamelan kuno yang disebut gamelan tukprul, alunan gending-gending tersebut dipandang mengandung doa keselamatan, bagi seluruh warga yang hadir pada acara itu.

Karena itulah, warga sangat antusias tiap kali menyambut pelaksanaan acara ini.

Ada bertumpuk harapan di hati mereka agar tuah dan energi dari acara ini, bisa memberi pengaruh positif pada kehidupan mereka di masa yang akan datang.

Ritual Mondosio sendiri memang menjadi ritual rutin yang diadakan warga Dusun Pancot.

Baca Juga: Menghapus 5 Sial dalam Ritual Padusan. Apa Sajakah Itu..?

Ritual yang diadakan tiap tujuh lapan (selapan = 36 hari) sekali ini, merupakan wujud rasa syukur atas berkah yang mereka terima selama ini. 

Ya, tanah yang subur di kawasan lereng Gunung Lawu, memang memberikan keuntungan tersendiri bagi warga di sekitarnya.

Apalagi mayoritas warga di desa ini berprofesi sebagai petani sayuran. Sehingga tiap kali musim panen, mereka bisa mendapatkan hasil panen yang berlimpah.

Karena itulah, di tiap jatuh pada wuku Mondosio, terutama hari Selasa Kliwon, warga selalu mengadakan acara bersih desa yang dikenal dengan sebutan ritual Mondosio.

Tidak ada yang tahu pasti kenapa ritual ini diadakan pada tiap wuku Mondosio.

Baca Juga: Ritual Padusan, Antara Tradisi Pembersihan Diri dan Penyerapan Berkah

Namun dari cerita tutur yang berkembang di tengah masyarakat Pancot, hal ini terkait dengan kematian sosok mahluk raksasa yang pada zaman dulu menguasai wilayah ini.

Raksasa yang disebut dengan nama Prabu Boko itu konon merupakan mahluk sakti yang tak terkalahkan.

Tak hanya itu, sikapnya juga sangat meresahkan karena setiap saat harus meminta sesaji manusia.

Karena itulah suatu saat muncullah seorang pemuda bernama Putut Tetuko yang berhasil mengalahkan sang raksasa, dan membunuhnya.

Dan karena kejadian itu diyakini jatuh pada hari Selasa Kliwon wuku Mondosio, maka kemudian warga merayakannya dengan menggelar acara syukuran pada hari tersebut.

Baca Juga: Diyakini Ampuh Wujudkan Harapan, Berikut Macam-macam Ritual Telanjang dan Tempat Melakukannya

Syukuran ini merupakan wujud rasa terima kasih kepada Tuhan, karena telah menyingkirkan Prabu Boko, yang selama ini menjadi biang bencana dan masalah bagi seluruh warga.

“Intinya acara ini adalah wujud rasa syukur warga atas berkah yang selama ini mereka dapatkan. Karena itulah, di sini seluruh warga bergotong royong menyumbangkan beras dan bahan lain untuk dimasak bersama. Dan dijadikan pelengkap serta sesaji dalam acara ini,” jelas Sulardiyanto, Kepala Dusun Pancot.

Sesaji Khusus
Ada banyak sesaji khusus yang harus disiapkan warga dalam pelaksanaan acara ini.

Selain makanan yang disebut gandik dan iwel-iwel, warga juga membuat tape ketan, yang kemudian diambil airnya sebagai salah satu pelengkap ritual.

Sulardiyanto, menyebutkan bahwa air tape ketan itu adalah simbolisasi pembersih darah dari Prabu Boko yang tewas saat bertarung dengan Putut Tetuko.

Kebetulan saat itu Putut Tetuko membunuh Prabu Boko dengan cara membenturkan kepalanya ke atas batu gilang. Sehingga darah sang raja raksasa ini membanjiri permukaan batu tersebut.

Baca Juga: Pohon Cinta, Saksi Bisu Ritual Kawin Lari Masyarakat Suku Sasak

Demi untuk menghapus segala bentuk kesialan dari darah tersebut, warga lantas berusaha membersihkannya dengan menyiram air.

Namun anehnya noda darah itu seperti enggan untuk pergi. Sampai akhirnya ada salah satu warga yang mencoba menyiramnya dengan air tape ketan atau yang disebut warga dengan nama badek. Yang ternyata dalam waktu sekejap, noda darah itu langsung luntur dan batunya kembali bersih.

Pembersihan darah sosok mahluk jahat ini dipandang sebagai simbolisasi pembersihan energi negatif yang menyelimuti wilayah Pancot.

Karena itulah, hal ini terus dilakukan warga hingga sekarang. Tujuannya tentu agar segala bentuk energi negatif yang menyelimuti wilayah Pancot bisa dibersihkan. Sehingga berbagai berkah dan keberuntungan senantiasa didapatkan seluruh warga.

Dari kisah tersebut, sesaji berupa air tape ketan ini lantas menjadi sesaji wajib bagi warga desa pada saat menggelar acara bersih desa Mondosio.

Baca Juga: Hii..Seram. Ritual Kendi Nusantara Berpotensi Menjadikan IKN Tempat Pembuangan Demit. Begini Penjelasannya

Dengan melakukan ritual pemberian air tape ketan di atas batu gilang, hal ini diyakini bisa membuat ladang mereka senantiasa subur. Sehingga bisa selalu memberikan hasil panen yang melimpah.

Namun sebelum bisa dijadikan sesaji, air tape ketan ini harus disimpan selama kurang lebih tujuh bulan.

Artinya air tape ketan yang dipakai untuk sesaji kali ini, adalah air tape ketan yang dibuat pada pelaksanaan Mondosio tujuh bulan lalu.

Entah apa tujuan dari hal ini. Yang pasti Sulardiyanto hanya menyebut bahwa hal itu sudah tradisi turun temurun, yang katanya untuk meningkatkan energi dari air tape tersebut.

“Tiap kali membuat sesaji tape ketan, airnya kemudian disimpan di kamar sesaji, dan akan digunakan pada Mondosio tujuh bulan lagi. Sedangkan untuk Mondosio kali ini, air tapenya juga diperoleh dari proses pembuatan pada Mondosio sebelumnya. Air itu selanjutnya dimasukkan dalam kendil atau kuali kecil-kecil, dan disimpan di ruangan punden Bale Patho’an. Di sini seluruh sesaji kemudian didoai bersama-sama oleh sesepuh desa,” papar Sulardiyanto.

Baca Juga: Ternyata Ini Alasan Tenun Donggala Diajukan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda ke UNESCO

Pelaksanaan ritual Mondosio diawali dengan penampilan atraksi kesenian reog Ponorogo.

Berlatar belakang puncak Gunung Lawu yang terlihat jelas karena cuaca cerah, para pemain reog saling beradu ketangkasan untuk menyajikan penampilan yang bisa memukau penonton.

Tak jarang sesekali mereka tampak tersulut emosi. Sehingga gerakan yang ditampilkan justru semakin atraktif.

Kesenian reog selalu menjadi kesenian wajib dalam pelaksanaan acara ini. Sebab kesenian ini dipandang memiliki muatan tujuan tolak balak. Sehingga bisa sejalan dengan tujuan utama dari pelaksanaan ritual bersih desa Mondosio.

Energi Pembersih
Usai penampilan seni reog, beberapa sesepuh Pancot segera berkumpul di depan Bale Patho’an.

Berbagai sesaji yang sebelumnya disanggarkan di tempat ini lantas dikeluarkan dan dibawa ke pendopo Pasar Pancot.

Sedangkan delapan kendil air tape ketan dibawa oleh para sesepuh menuju ke punden watu gilang.

Namun demikian, sebelumnya mereka telah berdoa bersama sembari masing-masing memegang satu buah kendil.

Baca Juga: Tradisi Wiwit Kopi Digelar Warga Kudus. Ternyata Ini Penyebabnya

Satu per satu warga yang membawa kuali air tape kemudian berjalan menuju punden watu gilang.

Kuali bertutupkan daun pisang itu lantas dibuka dan isinya dituangkan tepat di atas batu.

Dan hal ini terus dilakukan hingga kuali terakhir, hingga kondisi batu gilang itu basah dan menebarkan aroma alkohol yang kuat, yang berasal dari air tape ketan.

Puncak acara Mondosio lalu ditutup dengan prosesi rebutan sesaji. Warga yang berkumpul langsung menyerbu sesaji yang ditempatkan di pendopo pasar.

Dan salah satu prosesi yang paling ditunggu serta menjadi ciri khas Mondosio, adalah rebutan ayam hidup.

Baca Juga: Tak Banyak yang Tahu, Ternyata Begini Sejarah Tradisi Saling Berkirim Hantaran

Ayam-ayam ini akan dilemparkan di atas atap bangunan pendopo pasar, yang langsung diserbu warga yang memperebutkannya.

Ada satu syarat yang harus dipatuhi warga saat berebut ayam. Yaitu mereka dilarang naik ke atas atap bangunan.

Sebab selain rawan jebol, karena terbuat dari seng, hal itu juga dipandang kurang sopan.

Karena itulah, warga hanya sebatas memanjat dan bergelantungan pada pilar-pilar bangunan, untuk meraih ayam yang diincar.

“Ayam-ayam ini sebenarnya adalah bagian dari nadar warga yang merasa keinginan atau harapannya terkabul, saat ritual di watu gilang.Sehingga sebagai bentuk rasa syukur, mereka menyumbangkan seekor ayam hidup, untuk dipakai sebagai pelengkap sesaji.Dan tiap pelaksanaan Mondosio, jumlah ayam yang diperebutkan juga terus bertambah.Hal itu menunjukkan bahwa semakin banyak orang yang mendapat berkah dan kemudian mewujudkan rasa syukurnya dalam acara ini,” ungkap Sulardiyanto yang juga seorang dalang wayang kulit ini.

Baca Juga: Keistimewaan Bulan Syawal dan Serangkaian Tradisi yang Menyertainya

Seiring berjalannya waktu, punden watu gilang memang semakin banyak dikenal masyarakat luas. Sehingga kemudian tidak semata-mata dipakai sebagai tempat ritual pada saat acara bersih desa saja.

Banyak orang dari luar Dusun Pancot yang mendatangi punden ini dan percaya bahwa kekuatan gaib di punden ini bisa mewujudkan berbagai harapannya.

Karena itulah, pada hari-hari tertentu, Desa ini akan tampak lebih ramai dari biasanya.

Sebab akan banyak orang yang datang untuk melakukan ritual di punden ini. Dan seperti yang sudah disyaratkan, para pengunjung biasanya juga membawa air tape ketan dalam sebuah kantung plastik kecil.

Yang mana usai berdoa, air tape itu selanjutnya disiramkan di atas batu yang kemudian disusul dengan taburan bunga setaman.

“Dalam doanya, biasanya warga juga berjanji bahwa nanti kalau apa yang menjadi hajatnya berhasil, maka dia akan menyumbangkan seekor ayam di acara Mondosio. Dan umumnya mereka yang berani berjanji inilah yang kemudian benar-benar terkabul hajatnya,” pungkas Sulardiyanto.***

Editor: Andi Penowo

Tags

Terkini

Terpopuler