Kenapa Musafir Diperbolehkan Tak Puasa Ramadhan? Inilah Jawaban dan Dalilnya

- 17 Maret 2024, 04:25 WIB
inilaha jawaban dan dalilnya, kenapa muslim dan muslimat yang sedang dalam perjalanan diperbolehkan tak Puasa Ramadhan?
inilaha jawaban dan dalilnya, kenapa muslim dan muslimat yang sedang dalam perjalanan diperbolehkan tak Puasa Ramadhan? /Ilustrasi/ Foto: PT. Kereta Api Indonesia/

Para sahabat yang ke luar dalam perjalanan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada yang berbuka dan ada juga yang tetap berpuasa. Sedangkan Nabi Muhammad SAW, tetap berpuasa dalam perjalanan.

 “Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab shalatnya musafir.

 

Hilangnya Alasan untuk Tidak Berpuasa

Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka, karena adanya alasan yang membolehkannya berbuka.

 Baca Juga: Allah SWT Menjanjikan Karunia Surga Darus Salam, Keistimewaan Puasa Ramadhan Hari Keenam

Namun bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan, maka ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak bepergian.

Dikatakan juga, ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang bepergian. Bila seorang musafir (orang sudah dalam keadaan pergi) dan orang yang sakit pada pagi hari berpuasa kemudian menghendaki untuk berbuka, maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka karena berlanjutnya alasan keduanya untuk tidak berpuasa.

Bila seorang musafir telah bermukim dan seorang yang sakit telah sembuh maka haram bagi keduanya berbuka, menurut pendapat yang sahih karena telah hilangnya alasan untuk tidak berpuasa.

 Baca Juga: Doa Puasa Ramadhan Hari Keenam: lafal dan tulisan Arab, Indonesia dilengkapi terjemahannya

Pendapat kedua membolehkan keduanya berbuka dengan mempertimbangkan keadaan di awal hari.” (Jalaludin Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin [Kairo: Darul Hadis, 2014], juz 2, hal. 161)

Halaman:

Editor: Kustawa Esye


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah