Gerabah Bayat; Inilah Gaya Muter Miring Penggaet Guru Besar University Jepang

21 Februari 2022, 11:18 WIB
Proses produksi teknik putar miring inilah yang menggaet guru besar fakultas Seni Kyoto Seika University Jepang menaruh perhatian kusus kepada gerabah di Kecamatan Bayat dan Wedi, Kabupaten Klaten /Diskominfo Klaten/

KARANGANYARNEWS - Kabupaten Klaten identik dengan gerabah, tak hanya kualitas dan keragaman produknya. Teknik pembuatan ‘muter miring’, selain sangat langka nan unik juga menyimpan filosofi kehidupan nan luhur.

Teknik ‘muter miring’, para pengrajin gerabah menyebutnya. Inilah yang membedakan gerabah khas Klaten ini, dibandingkan produk gerabah serupa di daerah lain.

Sentra produk handycraft ‘muter miring’ atau memutar tidak tegak lurus ini, di perbatasan dua wilayah kecamatan. Tepatnya di Desa Melikan, Kecamatan Wedi dan Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat. Keduanya di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Baca Juga: Soto Bebek Klaten, Inilah Citarasa Khas dan Resto Terrekomendednya

Karena asal mula kerajinan grabah ini dikaitkan sejarah Sunan Pandanaran, sering disebut juga Sunan Tembayat, masyarakat termasuk yang di daerah lain hingga kini lebih menyebutnya gerabah Bayat.

Produk handycrafnya, mayoritas untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Diantaranya perkakas dapur seperti mangkok, cangkir, poci, piring, cowek, layah, celengan, periuk, dandang, genthong, jembangan penampung air dan lainnya.

Selebihnya, ada juga produk gerabah berbahan tanah liat yang diperuntukkan interior dan eksterior kekinian. Diantaranya pot atau vas bunga, patung atau boneka, hiasan dinding, meja, tempat dududuk, mainan anak-anak dan lainnya lagi.

Baca Juga: Inovatif, Piket Siaga Erupsi Gunung Merapi Sambil Jaga Kedai Kopi

Untuk membuat gerabah, masyarakat setempat tidak menggunakan meja putar tegak, sebagaimana pengrajin di daerah lain. Di Kecamatan Bayat dan Wedi, semua pengrajin gerabah menggunakan perbot (alat putar tradisional)miring atau menyerong.

”Roda putar yang mereka gunakan tidak datar (horisontal), melainkan dimiringkan beberapa derajat ke depan, hingga teknik pembuatannya disebut teknik putar miring,” kata Ketua Desa Wisata Melikan, Sumilih kepada awak media.

Penggunaan dan penerapan teknik putar miring ini, secara historis menurutnya karena dulu pengrajinnya mayoritas perempuan yang mengenakan pakaian tradisional adat Jawa, berkebaya dan kain jarik.

Baca Juga: Cak Nun Nyaris Tewas; Kena Santet, Kronologisnya Menyeramkan

Untuk menjaga etika sopan santun dalam budaya Jawa, perempuan tabu duduk dengan kaki dan paha terbuka. Kaum Hawa, di mana pun berada termasuk saat bekerja, duduknya harus menyerong (miring) dengan kaki dan pahan dirapatkan.

Ditambah lagi, secara ergonomis teknik putaran miring juga memberikan kemudahan kaum perempuan yang memakai kain jarik panjang, untuk bekerja agar tetap tidak menekuk kedua kakinya. 

Beragam produk handycraft gerabah khas Desa Melikan, Kecamatan Wedi, dan Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat

Karena keunikan proses produksinya ini juga, gerabah Bayat menarik dan menggaet perhatian kusus dan serius Guru Besar Fakultas Seni Kyoto Seika, University di Jepang untuk mempelajari sekaligus melakukan penelitian ilmiah gerabah Bayat.

Professor yang bernama lengkap Chitaru Kawasaki tadi, tahun 1992 melakukan penelitian akademis baik terkait falsafah filosofi, seni budaya maupun teknik produksi putar miring gerabah di Desa Pagerjurang maupun Desa Melikan.

Baca Juga: Proyek Jalan Tol Solo-Jogja; Bupati Klaten Tagih Janji Ganti Untung

Setelah penelitian ilmiahnya selesai, Guru Besar Fakultas Seni Kyoto Seika University  Jepang ini masih memberikan perhatian lebih seriuas lagi. Menurut Sumilih, professor Jepang tadi juga mendirikan laboratorium gerabah di Kabupaten Klaten.

“Selain mendirikan laboratorium juga menggagas berdirinya SMK Seni Kerajinan pertama di Indonesia. Bersama Titian Foundation dan Qatar Foundation, tahun 2009 lalu meresmikan SMK N 1 ROTA (Reach Out To Asia) di Bayat,” terang Ketua Desa Wisata Melikan.

Selain cara pembuatannya yang unik dan langka, gerabah Bayat juga memiliki ciri khas lainnya. Warnanya yang kehitam-hitaman setelah gerabah siap dipasarkan, menunjukkan ciri khasnya gerabah produk Kecamatan Bayat dan Wedi.

Baca Juga: Cabuk Wonogiri, Citarasa Pedas Manis Sedap Hitamnya Wijen Sangrai

“Warna natural khas dihasilkan dari campuran bahan bakuutama, tanah liat kusus dan bubuk pasir halus. Trade mark gerabah asli Bayat yang berkualitas tinggi,” terang Sumilih menambahkan.

Terkait keberadaan sentra kerajinan gerabah di Desa Melikan dan Desa Pagerjurang ini, sejumlah sumber yang dihimpun KaranganyarNews.pikiran-rakyat.com menyebutkan, tak lepas dari peran Sunan Pandanaran, sering disebut Sunan Tembayat.

Diperoleh keterangan, Sunan Tembayat adalah murid Sunan Kalijaga yang konon sebagai tokoh spiritual yang menyebarkan agama Islam di Bayat dan sekitarnya. Kini, makam Sunan Pandanaran berada tak jauh dari dua desa industry gerabah tadi.

Baca Juga: Gunung Kemukus Jadi Mengkilap, Ini Rute, Info Harga Tiket dan Foto-fotonya

Warga masyarakat setempat meyakini, selain berdakwah di abad ke-15 itu Sunan Tembayat juga mendidik masyarakat menekuni profesi sebagai pengrajin gerabah yang berbahan baku tanah liat.  ***

 

Editor: Kustawa Esye

Tags

Terkini

Terpopuler