Jejak Pangeran Sambernyawa 3: Nyai Ageng Karang, Cikal Bakal Kabupaten Karanganyar

- 18 November 2022, 10:05 WIB
Laskar perempuan Lereng Lawu pimpinan Nyai Ageng Karang, gerilyawan perempuan melawan kolonial Belanda era Keraton Kartosuro, dalam Sendratari Nyi Ageng Karang
Laskar perempuan Lereng Lawu pimpinan Nyai Ageng Karang, gerilyawan perempuan melawan kolonial Belanda era Keraton Kartosuro, dalam Sendratari Nyi Ageng Karang /Kustawa Esye/

KARANGANYARNEWS - Pertemuan Pangeran Sambernyawa dengan Nyi Ageng Karang, memberi spirit baru perjuangan Pangeran Sambernyawa beserta pengikutnya melawan penjajahan kolonial Belanda.

Nyi Ageng Karang, gelar Raden Ayu Sulbiyah setelah mengembara dan menetap di lereng barat Gunung Lawu. Dalam sejarah perjuangan Pangeran Sambernyawa, pendekar perempuan ini juga disebut Nyai Dipo.

Dalam silsilah Keraton Kartosuro, sebagaimana dilansir KaranganyarNews.com dari buku ‘Sejarah dan Warisan Nilai-nilai Luhur Raden Mas Said’ desebutkan Nyai Ageng Karang adalan istri Pangeran Diponegara, era Keraton Kartosura, bukan Pangeran Diponegoro di era Perang Paregrek.

Baca Juga: 7 Twibbon Hari Jadi Kabupaten Karanganya Ke 105: Gratis, Aplikatif Teruntuk Semua Media Sosial

Diceritakan juga, Nyai Ageng Karang yang juga disebut Nyai Dipo adalah nenek Pangeran Sambernyawa. Wejangan spiritual reliqius dari Nyai Ageng Karang,  selain memperteguh keimanan dan penghambaannya kepada Sang Kholiq, juga memperkokoh jiwa maupun semangat patriotik cucunya.

Di lereng barat Gunung Lawu yang kemudian menjadi wilayah Kabupaten Karanganyar ini, Nyai Ageng Karang memimpin gerilyawan laskar perempuan melawan kolonial Belanda.

Dalam pertemuannya tadi, Nyai Ageng Karang juga mengajarkan berbagai strategi perang gerilya kepada cucunya, Pangeran Sambernyawa. Baik strategi perang gerilya menghadapi bala tentara belanda, maupun strategi berperang melalui filosofi falsafah kehidupan.

Baca Juga: Jejak Pangeran Sambernyawa 2: Hengkang dari Istana Melunasi Spirit Patriotiknya

Dikisahkan Ki Panji Koeswening, budayawan yang juga pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) di Kabupaten Karanganyar, salah satu diantaranya melalui bubur bekatul yang disajikan Nyai Ageng Karang kepada Pangeran Sambernyawa.

“Pangeran Sambernyawa menikmati bubur bekatul yang masih panas, karena memulainya disedu dari tengah lidahnya serasa menyentuh bara api,” terang tim penulis dan editor buku ‘Sejarah dan Warisan Nilai-nilai Luhur Raden Mas Said tadi.

Mengetahui cucu tersayangnya belum mengetahui strategi memakan bubur bekatul secara benar hingga berakibat lidahnya kesakitan, Nyai Ageng Karang memberikan wejangan atau nasehat kepada Pangeran Sambernyawa.

Baca Juga: Jejak Pangeran Sambernyawa 1: Raden Mas Said, Putra Bangsawan yang Terbuang

Untuk meneruskan perjuangan melawan Kompeni Belanda, beserta penguasa pribumi yang telah terjerat intrik politik VOC, tidak hanya mengandalkan kekuatan dan kesaktian secara phisik.

“Sangat dibutuhkan juga kejernihan pikir, pengendapan hati nurani, kekhusukan dzikir dan strategi perang yang tidak terbaca lawan,” kata Ki Panji Koeswening kepada mengutip wejangan Nyai Ageng Karang kepada cucunya.

Terlebih, dalam perjuangannya menghadapi Keraton Kartosuro yang telah mendapat dukungan penuh bala tentara Kolonial Belanda. Karena selain jumlah personil yang jauh tidak berimbang, persenjataannya pun lebih kuat dan modern musuhnya.

Baca Juga: Mendedah Filosifi Jawa, 7 Maqom Keteladanan Spirit Reliqius Pangeran Sambernyawa

Salah satu perjuangan yang harus ditempuh, bergerilya sebagaimana menikmati bubur bekatul yang masih panas. Dimulai dari pinggiran, disedu melingkar menuju ke tengah hingga habis.

Maksudnya, memulai melumpuhkan dan menguasai kekuatan serta kekuasaan lawan dari pinggiran, setelah berhasil melumpuhkannya barulah menyergap pusat kekuasaan dan atau perlawanan di tengahnya.

Pangeran Sambernyawa beserta pengikutnya merasakan mendapat spirit luar biasa, dalam perjuangannya melenyapkan Kolonial Belanda dari bumi pertiwi, seraya sangat bersyukur kepada Sang Kholiq dan berterima kasih kepada Nyai Ageng Karang.

Baca Juga: Karya ke-4 MSI Kabupaten Karanganyar, Hari Ini Buku Perjanjian Giyanti Dilaunching

Karena pencerahan dan spirit perjuangannya itulah, Pangeran Sambernyawa berikrar agar kelak kemudian hari dukuh tempat tinggal Raden Ayu Sulbiah atau Nyai Dipotadi diberi nama Karanganyar.

“Ikrar Pangeran Sambernyawa tadi sekitar tahun 1742-1744 Masehi,” Ki Panji Koeswening menambahkan, di kemudian hari padukuhan Karanganyar inilah yang menjadi cikal bakal atau asal usul Kabupaten Karanganyar.

Catatan sejarah ini, diperkuat dengan keberadaan makam Nyai Ageng Karang di sekitar Masjid Al Mukaromah Karanganyar. Perjalanan sejarah selanjutnya, makam tokoh pergerakan dan perjuangan di lereng barat Gunung Lawu ini dipindahkan ke kampung Tegalan, Kecamatan dan Kabupaten Karanganyar. (Bersambung) ***

Editor: Kustawa Esye


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah