Inilah Jawaban dan Dalilnya, Kenapa Musafir Diperbolehkan Tidak Puasa Ramadhan?

- 7 April 2023, 03:35 WIB
Inilah syariat puasa Ramadhan teruntuk musafir, dilengkapi dalil-dalil yang melandasi hukumnya
Inilah syariat puasa Ramadhan teruntuk musafir, dilengkapi dalil-dalil yang melandasi hukumnya /Ilustrasi Musafir di Jaman Rasulullah/ Pixabay/

KARANGANYARNEWS - Dalam syariat Islam, seseorang yang sedang dalam perjalanan mendapatkan keringanan dalam melaksanakan kewajiban sholat dan puasa, sebagaimana hukum puasa yang digantikan seminggu sebelum bulan Ramadhan tiba.

 

Sudah barang pasti, terkit ketentuan syariat ini harus didasarkan atas hukum dan ketentuan yang jelas dan kewajibannya tetap mengganti puasa pada hari yang lain sebagaimana niat puasa pengganti puasa Ramadhan.

Sebagaimana dilansir KaranganyarNews.com dari portal dalamislam.com, berikut syariat puasa Ramadhan bagi musafir dilengkapi dalil-dalil yang melandasi hukumnya.

Baca Juga: Wanita Istihadah Tetap Diwajibkan Puasa Ramadhan, Inilah Perbedaannya dengan Menstruasi

Secara etimologi musafir berasal dari kata kerja Arab safara, berarti berpergian. Dalam penertian secara luas, musafir berarti orang yang melakukan perjalanan. Kata safarin sendiri berarti perjalanan. Sebagaimana  disebutkan  dalam Alquran berikut ini:

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ… [البقرة/283]

“Dan jika kalian dalam perjalanan, dan tidak menjumpai seorang penulis, maka hendaklah hendaklah ada jaminan (yang bisa dipegang).”

Pada zaman Rasulullah perjalanan selama menjadi musafir ini merupakan bagian dari bentuk dakwah, Allah SWT menganjurkan kepada manusia untuk berpergian ke seluruh penjuru muka bumi ini.  Sebagaimana dalam firman-Nya berikut ini:

Baca Juga: Doa Puasa Ramadhan Hari ke-17, Sabtu 08 April 2023: Memohon Dikabulkan Seluruh Keinginan

“Yang menjadikan bumi bagi kamu mudah digunakan, maka berjalanlah merata-rata ceruk rantaunya, serta makanlah dari rezeki yang dikurniakan Allah; dan kepada Allah jualah (kamu) dibangkitkan hidup semula.” [QS. Al-Mulk : 15].

Syariat Puasa Ramadhan Teruntuk Musafir

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. al-Baqarah: 185).

Berdasarkan firman Allah di atas, seorang musafir diberikan keringanan dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan seperti dalam keistimewaannya bulan  Ramadhan itu sendiri.

Baca Juga: Muslimat Wajib Tahu: Haid dan Nifas di luar Jadwal, Wajibkah Menjalani Puasa Ramadhan?

Keringanan ini, diberikan memgingat lama perjalanan dapat memakan waktu hingga berjam-jam sehingga ditakutkan jikalau menjalankan ibadah puasa Ramdahan dapat menbahayakan perjalanan yang dilakukan.

Terlebih jikalau yang bersangkutan memiliki tugas yang membutuhkan konsentrasi tinggi dan menguras tenaga, semisal mengendarai kendaraan bermotor atau menyopir armada.

Dikhawatirkan jikalau tetap berpuasa, akan dapat menghilangkan konsentrasi serta menguras tenaganya sehingga dapat membahayakan diri pribadi maupun penumpang dalam beribadah puasa Ramadhan dan pelaksanannya.

Baca Juga: Keutamaan Puasa Ramadhan Hari ke-16: Allah Menganugerahi 60 Pakaian di Hari Kebangkitan

Para sahabat yang ke luar dalam perjalanan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada yang berbuka dan ada juga yang tetap berpuasa. Sedangkan Nabi Muhammad SAW, tetap berpuasa dalam perjalanan.

“Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab shalatnya musafir.

Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka, karena adanya alasan yang membolehkannya berbuka.

Baca Juga: Inilah Jawabnya, Kenapa Mimpi Basah Tak Membatalkan Puasa Ramadhan?

Namun bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan, maka ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak bepergian.

Dikatakan juga, ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang bepergian. Bila seorang musafir (orang sudah dalam keadaan pergi) dan orang yang sakit pada pagi hari berpuasa kemudian menghendaki untuk berbuka, maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka karena berlanjutnya alasan keduanya untuk tidak berpuasa.

Bila seorang musafir telah bermukim dan seorang yang sakit telah sembuh maka haram bagi keduanya berbuka, menurut pendapat yang sahih karena telah hilangnya alasan untuk tidak berpuasa.

Baca Juga: Keutamaan Puasa Ramadhan Hari ke-15: Allah Mengkabulkan Seluruh Keinginan Dunia dan Akhirat

Pendapat kedua membolehkan keduanya berbuka dengan mempertimbangkan keadaan di awal hari.” (Jalaludin Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin [Kairo: Darul Hadis, 2014], juz 2, hal. 161)

Penjelasan serupa, juga disampaikan oleh Syekh Muhammad Khatib As-Syarbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj. Hanya saja, beliau menambahkan penjelasan:

وَلَوْ نَوَى وَسَافَرَ لَيْلًا، فَإِنْ جَاوَزَ قَبْلَ الْفَجْرِ مَا اُعْتُبِرَ مُجَاوَزَتُهُ فِي صَلَاةِ الْمُسَافِرِ أَفْطَرَ، وَإِلَّا فَلَا

“Bila seseorang berniat puasa dan melakukan perjalanan pada malam hari, bila sebelum terbitnya fajar ia telah melewati batasan yang ditetapkan dalam bab shalatnya musafir maka ia boleh berbuka, bila tidak maka tidak boleh berbuka.” (Muhammad Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj [Beirut: Darul Fikr, 2009], juz 1, hal. 589). ***

Editor: Kustawa Esye


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah