Kenapa Musafir Diperbolehkan Tak Puasa Ramadhan? Inilah Jawaban dan Dalilnya

- 17 Maret 2024, 04:25 WIB
inilaha jawaban dan dalilnya, kenapa muslim dan muslimat yang sedang dalam perjalanan diperbolehkan tak Puasa Ramadhan?
inilaha jawaban dan dalilnya, kenapa muslim dan muslimat yang sedang dalam perjalanan diperbolehkan tak Puasa Ramadhan? /Ilustrasi/ Foto: PT. Kereta Api Indonesia/

KARANGANYARNEWS - Muslim dan atau mulimat wajib Tahu, inilaha jawaban dan dalilnya, kenapa muslim dan muslimat yang sedang dalam perjalanan diperbolehkan tak Puasa Ramadhan?

Sebagaimana disebutkan dalam syariat Puasa Ramadhan, umat Islam yang tengah menempuh perjalanan  mendapatkan keringanan dalam melaksanakan kewajiban Puasa Ramadhan.

Namun demikian, puasa fardlu Bulan Suci Ramadhan yang tidak dia jalani, wajib digantikan pada waktu lain, diutamakan satu minggu sebelum bulan Ramadhan tahun berikutnya tiba.

 Baca Juga: Keistimewaan Puasa Ramadhan Hari Ketujuh, Allah Menganugerahi Surga Naim dan Pahala 1000 Syuhada

Sebagaimana dilansir KaranganyarNews.com dari portal dalamislam.com, berikut syariat puasa Ramadhan bagi musafir dilengkapi dalil-dalil yang melandasi Syariat atau hukumnya.

Secara etimologi musafir berasal dari kata kerja Arab safara, berarti berpergian. Dalam penertian secara luas, musafir berarti orang yang melakukan perjalanan. Kata safarin sendiri berarti perjalanan. Sebagaimana  disebutkan  dalam Alquran berikut ini:

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ… [البقرة/283]

“Dan jika kalian dalam perjalanan, dan tidak menjumpai seorang penulis, maka hendaklah ada jaminan (yang bisa dipegang).”

 Baca Juga: Kalkulasi Logika Matematik Tingginya Pahala Membaca Alquran di Bulan Ramadhan

Pada zaman Rasulullah perjalanan selama menjadi musafir ini merupakan bagian dari bentuk dakwah, Allah SWT menganjurkan kepada manusia untuk berpergian ke seluruh penjuru muka bumi ini.  Sebagaimana dalam firman-Nya berikut ini:

“Yang menjadikan bumi bagi kamu mudah digunakan, maka berjalanlah merata-rata ceruk rantaunya, serta makanlah dari rezeki yang dikurniakan Allah; dan kepada Allah jualah (kamu) dibangkitkan hidup semula.” [QS. Al-Mulk : 15].

 

Syariat Puasa Ramadhan Teruntuk Musafir

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. al-Baqarah: 185).

 Baca Juga: Doa Puasa Ramadhan Hari Ketujuh: Memohon Terhindar Kesia-sian Puasa dan Dijauhkan Perbuatan Dosa

Berdasarkan firman Allah di atas, seorang musafir diberikan keringanan dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan seperti dalam keistimewaannya bulan  Ramadhan itu sendiri.

Keringanan ini, diberikan memgingat lama perjalanan dapat memakan waktu hingga berjam-jam sehingga ditakutkan jikalau menjalankan ibadah puasa Ramdahan dapat menbahayakan perjalanan yang dilakukan.

Terlebih jikalau yang bersangkutan memiliki tugas yang membutuhkan konsentrasi tinggi dan menguras tenaga, semisal mengendarai kendaraan bermotor atau menyopir armada.

Dikhawatirkan jikalau tetap berpuasa, akan dapat menghilangkan konsentrasi serta menguras tenaganya sehingga dapat membahayakan diri pribadi maupun penumpang dalam beribadah puasa Ramadhan dan pelaksanannya.

 Baca Juga: Syariat Wudhu Saat Puasa Ramadhan: Haruskah Kumur Kuat dan Kencang?

Para sahabat yang ke luar dalam perjalanan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada yang berbuka dan ada juga yang tetap berpuasa. Sedangkan Nabi Muhammad SAW, tetap berpuasa dalam perjalanan.

 “Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab shalatnya musafir.

 

Hilangnya Alasan untuk Tidak Berpuasa

Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka, karena adanya alasan yang membolehkannya berbuka.

 Baca Juga: Allah SWT Menjanjikan Karunia Surga Darus Salam, Keistimewaan Puasa Ramadhan Hari Keenam

Namun bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan, maka ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak bepergian.

Dikatakan juga, ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang bepergian. Bila seorang musafir (orang sudah dalam keadaan pergi) dan orang yang sakit pada pagi hari berpuasa kemudian menghendaki untuk berbuka, maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka karena berlanjutnya alasan keduanya untuk tidak berpuasa.

Bila seorang musafir telah bermukim dan seorang yang sakit telah sembuh maka haram bagi keduanya berbuka, menurut pendapat yang sahih karena telah hilangnya alasan untuk tidak berpuasa.

 Baca Juga: Doa Puasa Ramadhan Hari Keenam: lafal dan tulisan Arab, Indonesia dilengkapi terjemahannya

Pendapat kedua membolehkan keduanya berbuka dengan mempertimbangkan keadaan di awal hari.” (Jalaludin Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin [Kairo: Darul Hadis, 2014], juz 2, hal. 161)

Penjelasan serupa, juga disampaikan oleh Syekh Muhammad Khatib As-Syarbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj. Hanya saja, beliau menambahkan penjelasan:

وَلَوْ نَوَى وَسَافَرَ لَيْلًا، فَإِنْ جَاوَزَ قَبْلَ الْفَجْرِ مَا اُعْتُبِرَ مُجَاوَزَتُهُ فِي صَلَاةِ الْمُسَافِرِ أَفْطَرَ، وَإِلَّا فَلَا

“Bila seseorang berniat puasa dan melakukan perjalanan pada malam hari, bila sebelum terbitnya fajar ia telah melewati batasan yang ditetapkan dalam bab shalatnya musafir maka ia boleh berbuka, bila tidak maka tidak boleh berbuka.” (Muhammad Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj [Beirut: Darul Fikr, 2009], juz 1, hal. 589).***

Editor: Kustawa Esye


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah