Mengenal Tradisi Sadranan, dari Festival Tumpeng, Kirab Tenong hingga Wedharan Penuh Makna

1 Maret 2024, 21:25 WIB
Mengenal Tradisi Sadranan, dari Festival Tumpeng, Kirab Tenong hingga Wedharan Penuh Makna /Dok.Istimewa

KARANGANYARNEWS - Sejumlah masyarakat Jawa masih menjalankan tradisi Sadranan beberapa hari sebelum datangnya Bulan Suci Ramadhan. Lantas, apa itu Sadranan?

Sandranan merupakan salah satu tradisi Jawa yang masih lekat dalam kehidupan masyarakat Jawa, salah satunya di Boyolali, Jawa Tengah.

Sedangkan aktivitas Sadranan biasa disebut nyadran, seperti halnya menyebut nyoto untuk orang yang sedang menyantap soto.

Baca Juga: Keutamaan Puasa Ramadhan Hari ke-26: Senin 17 April 2023, Catat dan Jangan Terlewatkan

Tradisi nyadran juga termasuk sebagai salah satu tradisi menjelang datangnya Bulan Suci Ramadhan. Nyadran konon berasal dari bahasa Sanskerta “Sraddha”yang artinya keyakinan.

Nyadran adalah tradisi yang dilakukan oleh orang Jawa yang dilakukan di bulan Sya’ban (Kalender Hijriyah) atau Ruwah (Kalender Jawa).

Nyadran dimaksudkan sebagai sarana ucapan syukur dan mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia, mengingatkan diri bahwa semua manusia pada akhirnya akan mengalami kematian, melestarikan budaya gotong-royong dalam masyarakat, sekaligus upaya untuk dapat menjaga keharmonisan bertetangga melalui kegiatan kendurian atau boleh disebut kembul bujono serta (makan bersama).

Baca Juga: Doa Puasa Ramadhan Hari ke-20, Selasa 11 April 2023: Memohon Dibukakan Pintu Surga

Tradisi Nyadran seiring berjalannya waktu mengalami proses perkembangan budaya sehingga menjadi adat dan tradisi yang memuat berbagai macam seni budaya.

Tradisi Nyadran berdasarkan sejarahnya merupakan suatu akulturasi budaya Jawa dengan Islam.

Dalam tradisi Tionghoa, dikenal pula tradisi “Ceng Beng” yang memiliki kesamaan dengan Tradisi Sadranan, yaitu upacara untuk mengenang para leluhur dan merekatkan hubungan antar keluarga.

Baca Juga: UPDATE! Jadwal Libur Awal Puasa 2024: Libur Sekolah SD SMP SMA/SMK, Siap-siap Rayakan Ramadhan!

Menembus ruang dan waktu

Tak hanya di situs-situs sejarah, makam dan ruang publik, Sadranan di era milenial juga dilakukan di hotel, tanpa menghilangkan beberapa unsur dan pemaknaannya.

Seperti yang digelar MaxOne Hotel Loji Kridanggo Boyolali. Sebagai hotel yang berada di daerah lereng Merbabu dan Merapi yang kental dengan budaya Jawa, event ini digelar sekaligus guna memperkenalkan kearifan lokal kepada para tamu, khususnya kepada perantau.

Upacara adat Sadranan tersebut digelar pada hari Minggu 25 Feb 2024 lalu. Digelar dengan sederhana, rangkaian acara tersebut dilengkapi dengan kirab tenong yang berisi, makanan ringan untuk suguhan para tamu, tumpeng lengkap dengan lauknya untuk kendurian, yang dimakan bersama setelah semua prosesi selesai.

Wedharan

Sebagaimana acara budaya di masyarakat Jawa, upacara tersebut juga menghadirkan sesepuh untuk memberikan wejangan berupa pesan positif terhadap laku lampah yang bijak sebagai manusia.

Kenduri, Kembul Bujono dan Doa

Makanan yang dibawa dalam tenong berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng, urap sayur dan lain sebagainya.

Makanan tersebut diletakkan di depan untuk didoakan oleh Sesepuh atau Pemuka Agama untuk mendapatkan berkah.

Ramah Tamah

Sebagai sarana untuk mempererat silaturahmi dan merekatkan hubungan antar keluarga yang mungkin sudah lama tidak bertemu, serta mewujudkan budaya sosial masyarakat Jawa yang penuh dengan kehangatan.

"Sadranan di hotel digelar guna mewujudkan momen sebelum Bulan Ramadhan tersebut untuk tamu yang mungkin datang dari berbagai daerah, serta keluarga asli Boyolali yang masih memiliki leluhur yang dimakamkan di Boyolal tetapi sudah tidak memiliki kerabat serta tempat tinggal di Boyolali untuk tetap dapat melaksanakan tradisi sadranan bersama dengan kerabat dan keluarga, pungkas pemilik MaxOne Hotel Loji Kridanggo Boyolali, Aloys Sutarto. ***

Editor: Abednego Afriadi

Tags

Terkini

Terpopuler