Ini Dia Beberapa Sesaji yang Diyakini Mampu Menarik Harta dari Alam gaib

- 25 Maret 2022, 23:50 WIB
Ilustrasi seorang pelaku ritual yang meletakkan sesaji di sebuah tempat keramat
Ilustrasi seorang pelaku ritual yang meletakkan sesaji di sebuah tempat keramat /Klasik Herlambang/Karanganyar News

KARANGANYARNEWS - Beragam sesaji kerap diikutkan dalam sebuah prosesi ritual, termasuk sadranan.

Di masyarakat, banyak tempat atau makam yang mensyaratkan sesaji tertentu, untuk para peziarah yang datang. Yang mana hal itu dipandang sebagai sebuah kewajiban, agar apa yang menjadi harapan bagi para pengunjung bisa terkabul.

Sebab selain diyakini sebagai media komunikasi bagi mereka yang masih hidup dengan arwah para leluhur. Sesaji juga diyakini menjadi simbolisasi doa dan terkait dnegan harapan tertentu, dari orang yang menyediakannya.

Berikut adalah sesaji-sesaji khas yang selalu disediakan dalam prosesi ritual di tempat-tempat keramat. Yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri.

Sesaji Nasi Liwet

Sesaji nasi liwet biasanya akan kita temui saat acara sadranan di komplek makam manag, Kabupaten Sukoharjo.

Sesaji ini menjadi sesaji utama, di samping sesaji-sesaji lain yang umum disediakan.

Baca Juga: Bikin Merinding, Pohon-pohon Jati di Punden Masin Kudus Bisa Menangis

Sesaji nasi liwet disediakan bukan tanpa alasan. Terkait dengan makna sebagai media komunikasi dnegan arwah leluhur, nasi liwet disediakan karena konon mendiang KRAdp Sosronagoro, sangat menyukai makanan yang satu ini. Sehingga dengan menyediakan sesaji tersebut, diyakini bisa membuat senang arwah sang leluhur. Yang tentunya diharapkan bisa memberikan timbal balik positif pada anak turunnya yang masih hidup.

Sedangkan dari konteks simbol sebuah harapan, sesaji nasi liwet dipahami sebagai simbol dari harapan agar rejeki bisa senantiasa datang. Sebab nasi liwet adalah wujud makanan yang dimasak dengan bermacam bumbu rempah, sehingga menghasilkan rasa yang lezat. Artinya bahwa diharapkan bahwa dengan menyediakan makanan ini maka kehidupan di dunia akan senantiasa dinaungi berbagai kenikmatan.

Tak hanya itu, kata liwet juga dimaknai secara filosofi sebagai rejeki sing semriwet atau rejeki yang senantiasa datang tanpa putus. Sehingga dengan menyediakan sesaji ini, harapan dari para anak turun adalah agar rejeki mereka di dunia bisa senantiasa lancar dan tanpa putus.

“Selain sudah merupakan tradisi dari dulu, ada yang meyakini dengan memakan nasi liwet maka rejekinya akan semriwet (selalu datang). Makanya hidangan ini selalu disajikan di tiap acara sadranan di makam ini,” terang Sarmanto sang juru kunci yang bergelar Panewu Mas Ngabehi Padmohastono.

Sesaji Bubur Katul

Makam Pangeran Wuragil di Gunung Malang, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten juga memiliki tradisi khas yang terkait dengan sesaji.

Baca Juga: Disebut Sebagai Gunung Api Purba, Begini Legenda yang Melekat pada Gunung Budeg Tulungangung

Di makam salah satu cucu Sunan Bayat atau Syeh Pandanaran ini, para peziarah wajib menyediakan sesaji bubur katul atau dedak, agar apa yang menjadi harapannya bisa terwujud. Ini terutama untuk para peziarah yang memang memiliki tujuan khusus.

Makam Pangeran Wuragil atau yang memiliki nama lahir Pangeran Menang Kabul ini, memang menjadi salah satu tempat keramat yang banyak dikunjungi para peziarah.

Hal ini terutama dilakukan oleh mereka yang sulit mendapatkan keturunan. Sehingga dengan menjalankan ritual di makam tersebut, keturunan yang selama ini didambakan, diharapkan bisa segera didapatkan.

Dan lelaku yang satu ini juga pernah dijalankan oleh mendiang raja Keraton Surakarta Hadiningrat, Sinuhun Paku Buwono X, saat mengharapkan momongan.

Dengan sebuah ritual khusus, akhirnya sang raja berhasil mendapatkan keturunan. Sehingga keampuhan makam Pangeran Wuragil semakin dikenal di masyarakat.

Bubur Katul sendiri disyaratkan bukannya tanpa alasan. Parwito Raharjo sang juru kunci menyebut bahwa disyaratkannya sesaji ini tak lepas dari petunjuk yang diperoleh Sinuhun PB X saat menjalankan ritrual di makam ini.

Dalam sebuah meditasi yang dilakukannya, Sinuhun didatangi oleh arwah Pangeran Wuragil dan menyuruhnya untuk membuat bubur katul. Bubur itu selanjutnya sebagian diletakkan di dekat makam, dan sebagian dimakan.

Baca Juga: Miris, Harta Berlimpah, tapi Tiap Malam Jumat Berubah Jadi Monyet

"Katul di sini bisa dimaknai sebagai kata kabul. Artinya bahwa apa yang kita harapkan akan terkabul, dengan menyediakan sesaji ini," terang Parwito.

Namun lepas dari keyakinan itu, katul atau dedak sendiri adalah jenis makanan yang sangat kaya akan nutrisi. Katul yang terbuat dari kulit ari beras diyakini mengandung zat-zat penting yang bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan.

Sehingga bila dikonsumsi pasangan suami istri, bisa membantu  memudahkan dalam mendapatkan keturunan.

Sesaji Kerupuk Intip

Sesaji khusus yang lain juga disyaratkan kepada para pelaku ritual yang datang ke makam Ki Ageng Perwito, di Desa Ngreden, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten.

Di makam ini, para peziarah yang ingin mendapatkan berkah diwajibkan untuk membawa sesaji berupa krupuk intip serta legondo atau lepet.

Ki Ageng Perwito sendiri adalah putra bungsu dari Sultan Trenggono, Raja Demak. Bersamaan dengan keruntuhan Demak, dia kemudian mengabdikan diri pada Sultan Hadiwijoyo, kakak iparnya di Kerajaan Pajang.

Dia dikenal sebagai sosok yang sangat memegang prinsip. Sehingga pendiriannya sangat kuat dan susah dipengaruhi.

Pada suatu ketika, di puncak sengketa antara Pajang dan Mataram, Raja Pajang memerintahkan Ki Ageng Perwito untuk mengingatkan Panembahan Senopati, yang mendirikan Kerajaan Mataram untuk membayar pajak dan tetap tunduk pada Pajang.

Maka berangkatlah Ki Ageng Perwito menemui Panembahan Senopati, yang tak lain masih anak dari Sultan Hadiwijoyo.

Namun perselisihan karena perbedaan pendapat terjadi, hingga memicu terjadinya pertempuran di antara keduanya.

Karena sama-sama sakti, maka tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang.

Baca Juga: Diciduk Satpol PP, Siswi SMK Bobok Tumpuk di Hotel Melati

Sampai akhirnya setelah mejalani pertarungan beberapa hari, Ki Ageng Perwito memutuskan untuk melakukan semedi guna mendapatkan petunjuk gaib, tentang cara mengalahkan Panembahan Senopati

Nah saat itulah, tiba-tiba dia didatangai oleh Sunan Kalijaga yang mengingatkan agar dia menjalankan pesan Sultan Trenggono bapaknya.

Sesaat sebelum meninggal, Sultan Trenggono berpesan agar membela orang yang mendapat wahyu bukannya orang yang sedang berkuasa.

Dan saat itu Sunan Kalijaga menjelaskan bahwa wahyu kedaton saat ini sudah jatuh ke tangan Panembahan Senopati.

Sunan Kalijaga menyarankan agar Ki Ageng Perwito meninggalkan kerajaan dan berjalan ke arah timur hingga sampai di sebuah bukit kecil.

Mengetahui hal itu, Ki Ageng Perwito pun langsung memutuskan untuk mengikuti saran Sunan Kalijaga.

Baginya lebih baik dia memilih untuk hidup tenang daripada terlibat dalam konflik yang dilematis.

Karena baginya kedua pihak yang bertikai, sama-sama harus dibela. Pajang harus dibela karena di situlah dia mengabdi, sedangkan Mataram juga harus dibela, karena di sanalah wahyu itu jatuh.

Karena itulah dia kemudian memutuskan untuk tidak membela keduanya.

Dan setelah berjalan beberapa lama akhirnya dia sampai di sebuah bukit kecil yang berada di wilayah Wonosari, Klaten.

Baca Juga: Sempat Dikira Masalah Asmara, Ini Motif dan Lokasi Ditangkapnya Dua Pembunuh Iska Nurrohmah

Di sini dia kemudian membangun rumah dan bertempat tinggal. Dia memberikan banyak pelajaran bagi warga di sekitarnya terkait ilmu pertanian dan perdagangan.

Karena itulah di tempat ini banyak warganya yang berhasil dalam dunia pertanian. Hal ini terlihat dari luasnya lahan persawahan di desa tersebut.

Dan sesaji kerupuk intip serta legondo, hal ini karena kedua makanan tersebut sangat disukai Ki Ageng Perwito semasa hidupnya.

Karena itulah, dengan menyediakan sesaji itu saat berziarah, hal ini diyakini sebagai upaya untuk melobi arwah Ki Ageng Perwito agar berkenan membantu.

Dan kabarnya telah banyak orang yang berhasil mewujudkan harapannya, setelah menjalankan ritual di makam sang tokoh.

Kerupuk intip sendiri adalah sejenis makanan yang dibuat dari bahan nasi yang mengering di dasar panci, karena proses pemasakan.

Nasi yang kemudian akan membentuk seperti wadah di mana dia dimasak itu, selanjutnya dikeringkan dan kemudian digoreng.

Sedangkan legondo atau ada pula yang menyebutnya lepet adalah sejenis makanan yang terbuat dari beras ketan bercampur kelapa, dan kemudian dibungkus daun janur.

Makanan bertekstur liat dan gurih ini diyakini merupakan akronim dari kata oleh bondo atau mendapatkan harta.

Sehingga bagi mereka yang ingin mendapatkan kelancaran rejeki atau bahkan kelimpahan harta, diwajibkan untuk menyediakan sesaji ini saat berziarah di makam Ki Ageng Perwito.

Baca Juga: Kronologi Lengkap Penangkapan Dea OnlyFans yang Dituduh Jual Foto Seksi

Selanjutnya sebelum datang dan berdoa di makam ini, ada anjuran agar bersuci di Sendang Tretes yang berada tak jauh dari lokasi makam.

Sendang ini adalah tempat di mana Ki Ageng Perwito menjalankan ritual serta bersuci, semasa hidupnya.

Di sendang yang diyakini dijaga dua ekor bulus gaib raksasa itulah, Ki Ageng Perwito kerap mendapatkan petunjuk, termasuk perintah menjalankan tapa ngluweng, hingga di akhir hayatnya.

Sesaji Pisang Setangkep

Tempat lain yang juga mensyaratkan sesaji khusus adalah punden Eyang Wiroguno, yang berada di Desa Tambakboyo, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo.

Di punden ini, para pelaku ritual disarankan untuk membawa sesaji berupa pisang raja setangkep.

Pisang raja setangkep sendiri adalah pisang raja dua sisir, yang bila diletakkan berdampingan akan membentuk seperti sepasang telapak tangan yang menengadah.

Sehingga dengan menyediakan sesaji ini, maka para pelaku ritual diharapkan bisa menangkap berkah dari punden ini.

Pisang yang disyaratkan sendiri adalah jenis raja. Sebab pisang jenis yang satu ini diyakini merupakan pisang terbaik.

Sehingga diharapkan segala kebaikan itu akan berbalik kepada diri orang yang menjalankan ritual. Yang berarti bahwa berkah berlimpah akan datang menaungi kehidupannya.

"Pisang setangkep adalah symbol permohonan. Hal ini karena bentuknya mirip dua telapak tangan yang tengah menengadah berdoa. Dengan pisang setangkep, tentu warga berharap bisa senantiasa menangkap berkah yang bisa membuat hidup mereka jauh dari kesialan," jelas Mbah Cokro, juru kunci Punden Eyang Wiroguno.

Punden yang berupa batu yoni di tengah Desa Tambakboyo ini memang merupakan salah satu tempat ritual favorit bagi warga di wilayah Sukoharjo dan sekitarnya.

Sebab kabarnya telah banyak orang yang sukses setelah menjalankan serangkaian ritual di tempat ini.

Baca Juga: Pengurus Kadin Solo Ziarah ke Makam Leluhur, Gareng : Untuk Menghargai Jasanya

Karenanya pada saat haul dari Eyang Wiroguno, ribuan orang yang umumnya adalah para pelaku ritual yang telah sukses, akan datang untuk berdoa bersama di punden tersebut.

Sesaji Jambu Biji dan Candu

Sesaji unik yang lain adalah berupa jambu biji dan candu. Benda ini merupakan sesaji wajib bagi para pelaku ritual di punden bank gaib Mboja, yang berada di Desa Sumber Bening, Kecamatan Bringin, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

Sesaji berupa jambu biji dan candu memang disebut-sebut wajib disediakan bersama beberapa sesaji lain yang sudah umum.

Sebab benda-benda tersebut diyakini sebagai benda kegemaran danyang penguasa punden.

Punden Mboja sendiri berbentuk sebatang pohon kamboja yang telah berusia ratusan tahun.

Pohon ini adalah nisan penanda makam Raden Subakir, sosok orang kaya yang hidup di jaman Kerajaan Pajang. Namun saat terjadi perang antara Pajang dan Mataram, dia bersama istrinya mengungsi hingga ke wilayah Ngawi.

Konon pada saat mengungsi, Raden Subakir membawa serta seluruh harta bendanya yang jumlahnya hingga berpeti-peti.

Dan dengan harta yang dimilikinya itu juga, dia ikut mendanai perang yang dilakukan Raden Ronggo Jumeno dari Madiun, melawan Mataram. Ini dilakukan karena Raden Subakir tidak suka dengan Mataram.

Setelah hidup bahagia dan hartanya semakin berlimpah, beberapa tahun kemudian Raden Subakir dan istrinya meninggal.

Mereka berdua selanjutnya dimakamkan secara bersama-sama. Dan sesuai dengan pesannya, dia ingin harta miliknya ikut dikubur bersama jasadnya.

Sebatang pohon kamboja kemudian ditancapkan di atas pusara keduanya, yang mana sampai sekarang masih terlihat berdiri dengan tegak di tengah areal persawahan warga.

Sisa-sisa bunga yang telah mongering serta batang-batang hioswa tampak terserak di sekitar tempat pohon itu tumbuh. Ini karena hampir tiap saat ada saja orang yang datang untuk berdoa dan ritual di tempat ini.

Baca Juga: Misteri Penampakan di Rumah Dinas Camat Paranggupito, Histeris dan Menyeramkan

Banyaknya orang yang datang tersebut tak lepas dari keyakinan akan diperolehnya harta berlimpah yang dalam hal ini berupa uang dari makam ini.

Sebab konon dengan sebuah ritual tertentu, penguasa gaib tempat ini yang tak lain adalah Raden Subakir dan Dewi Amini akan memberikan harta berlimpah sesuai dengan yang diminta.

Karena itu pula, akhirnya tempat yang dikenal dengan sebutan punden Mboja ini disebut-sebut sebagai bank gaib.

Sebab dalam laku ritual khusus yang dijalankan para pengalab berkah, konon ada proses transaksi sebagaimana yang terjadi di bank secara umum.

“Siapapun yang pinjam uang di sini pasti akan diberi, berapapun besarnya. Asalkan memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dan salah satu syarat sesaji yang harus disediakan adalah tiga buah jambu biji serta candu,” jelas Mbah Miran juru kunci Punden Mboja.

Sesaji Baju Balita

Tak hanya sesaji berupa makanan, ada juga sesaji berupa benda yang harus disertakan sebagai syarat wajib demi mendapatkan berkah dari sebuah tempat keramat.

Hal itu terjadi di punden Puntuk Tengger yang berada di wilayah Desa Plumpang, Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi.

Punden puntuk tengger berbentuk sebuah gundukan tanah yang merupakan rumah rayap, yang konon bisa berubah ukurannya seiring perkembangan kondisi alam gaib di sekitarnya.

Karena itulah punden ini kerap dijadikan tolok ukur serta petunjuk terkait gambaran kondisi yang akan terjadi di masa yang akan datang. 

Munculnya keyakinan bahwa tempat ini bisa mendatangkan berkah, tak lepas dari legenda yang beredar seputar keberadaan puntuk tersebut.

Menurut Mbah Karto, sesepuh Desa Plumpang, Puntuk Tengger adalah makam dari anak buah Dampo Awang.

Yang mana saat itu sedang singgah setelah menyusuri Bengawan Solo. Tapi karena sesuatu hal, dia kemudian diserang harimau penunggu hutan Plumpang, tempat puntuk itu berada.

Saat ditemukan oleh penduduk, tubuhnya tercerai berai karena dicabik-cabik harimau. Lalu bagian badannya dikubur di tempat puntuk itu berada. Sedangkan kepala dan bagian yang lain dikubur di tempat lain.

“Tengger itu dari kata weteng (perut) dan geger (punggung). Karena di tempat inilah perut dan punggung orang itu dikubur. Bahkan ada yang bilang kalau harta bendanya berupa perhiasan dan lain-lainnya ikut dikuburkan. Hingga memunculkan keyakinan bahwa di sini tersimpan harta karun, dan bisa untuk mencari pesugihan,” ungkap Mbah Karto.

Baca Juga: Polisi Tangkap Dea Penjual Konten Dewasa di OnlyFans, Ini Foto-fotonya

Setelah beberapa tahun kemudian, tanah tempat penguburan itu sudah rata dan sejajar dengan tanah di sekelilingnya.

Namun pada suatu saat, tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh dari arah tanah itu yang selanjutnya diikuti dengan meningginya sebagian tanah itu, tepat di bekas makam anak buah Dampo Awang.

Sejak saat itulah, putuk ini akhirnya dikeramatkan oleh warga. Pada tiap-tiap hari tertentu, onggokan bunga setaman tampak berserakan di atasnya.

Dan tak hanya itu, kadang juga terdapat beberapa potong pakaian anak-anak tampak dikubur di sana. Yang menurut Mbah Karto, adalah milik mereka yang mencari pesugihan di tempat ini.

Ya, pakaian anak-anak memang disebut-sebut menjadi salah satu sesaji wajib yang harus disediakan di samping bunga setaman serta kemenyan.

Tidak ada yang tahu persis sejak kapan syarat seperti ini mulai diberlakukan. Namun yang pasti, konon penggunaan pakaian anak-anak adalah untuk menyiasati permintaan tumbal dari danyang penguasa punden.

Baca Juga: Lewati Tepian Embung Doho yang Licin, Remaja Girimarto Terpeleset dan Tenggelam

Karena itulah, pada hari-hari tertentu, kita bisa dengan mudah menemukan pakaian anak-anak usia balita terpendam di bawah gundukan tanah Puntuk Tengger.

Dan konon dnegan begitu, maka harta karun yang tersimpan secara gaib di puntuk itu bisa terangkat.

Gambaran berbagai bentuk sesaji yang menjadi syarat sebuah ritual, menunjukkan bahwa penyediaan sesaji apapun bentuknya bertujuan sebagai upaya lobi gaib terhadap penguasa tempat keramat.

Di sini berlaku hukum timbal balik yang bersifat transaksional. Artinya seorang pelaku ritual akan mencoba menawarkan sesuatu yang disukai oleh sang danyang, agar sang danyang bersedia mengabulkan apa yang menjadi harapan pelaku ritual.

Hanya saja tingkat keberhasilan sebuah proses ritual tidak bisa dijamin 100%. Sebab ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan seorang pelaku ritual dalam mewujudkan impiannya. Yang mana salah satunya adalah karena faktor tingkat spiritualitas pribadinya.

Artinya bahwa mereka yang memiliki spiritualitas tinggi, akan cenderung lebih mudah mewujudkan hasil dari ritualnya.

Sebab tingkat spiritualitas ini sangat mempengaruhi keberhasilan seseorang, dalam menjalin kontak gaib dengan danyang penguasa tempat keramat.

"Orang yang secara spiritual sudah terlatih, akan dengan mudah melakukan kontak gaib dengan mahluk gaib. Dan hal ini menjadi salah satu syarat utama, agar bisa sukses dalam sebuah prosesi ritual. Sebab tanpa bisa melakukan kontak gaib, maka apapun yang kita lakukan atau sediakan, tidak akan ada artinya. Karena tidak akan ada komunikasi dan transaksi yang terjadi antara kita dengan danyang penguasa sebuah tempat," terang Bambang Prihartono, seorang spiritualis asal Surakarta.***

Editor: Langgeng Widodo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x